22--Against All Odd

805 122 4
                                    

🔞🔞

Pagi hari sebelum matahari sempat menyapa, Jay telah terbang dan meninggalkan kami untuk pergi ke Hongkong. Ia pergi menyusul ayahnya yang sedang menjalin kerjasama dengan mafia besar yang sangat sulit didekati. Sudah berkali-kali Wirajuda mencoba namun baru kali ini mereka mendapat lampu hijau.

Bukannya mengajak Chrysan, Prasasti justru mengajak Jay untuk menemaninya. Aku bisa menebak apa yang sedang Chrysan lakukan sekarang. Mengutuk Prasasti dan Jay di belakang mereka. Ia pasti geram karena ayah mereka lebih memilih Jay ketimbang Chrysan.

Kalau Valen, ia tidak begitu ambil pusing dengan posisi puncak yang berkemungkinan juga ia miliki, karena ia tidak begitu tertarik untuk mendapatkannya. Terlebih saat Prasasti telah menunjukkan secara gamblang bahwa posisi teratas Wirajuda ada di tangan salah satu dari Chrysan atau Jay.

"Ngapain pusing-pusing ngurus yang di atas. Urusan gue sendiri aja udah ribet." Ujar Valen pada suatu malam. Saat itu aku sedang mengikutinya untuk misi rahasia. Ia meminta secara khusus pada Jay untuk membawaku pergi.

Awalnya Jay tidak setuju, namun ia akhirnya memperbolehkan Valen untuk membawaku. Itu bukan pertama kalinya aku ikut bersamanya seorang diri. Dari pengalaman beberapa kali sebelumnya, aku tahu untuk apa dia memintaku ikut. Apa lagi kalau bukan untuk mendampinginya melumpuhkan orang.

"Yang satu ini udah hamil 3 bulan. Dia nggak mau aborsi dan mau rawat anak itu meskipun gue nggak akan mengakuinya. Tapi sekecil apapun itu, akan selalu berbahaya. Salah dia sendiri kalo gue harus menempuh jalan ini. Wirajuda nggak bisa lahir dari perempuan serendah dia. I mean, Jess, she's just a whore, okay?"

Aku tidak menjawab. Tidak tahu harus menjawab apa karena aku tahu dia hanya ingin menumpahkan perasaan yang tidak bisa dia ungkapkan kepada siapapun kecuali diriku.

"Dia cantik. Tapi bodoh. Gue nggak bisa membiarkan dia bertahan dengan kebodohannya lama-lama."

Setelah itu dia mempersilakanku untuk menyelesaikannya. Aku tidak mengerti kenapa hal semacam itu begitu mudah untukku. Menembak. Membunuh. Menghilangkan nyawa seseorang dari muka bumi. Hanya dengan satu butir peluru aku bisa melenyapkan kesakitan mereka di dunia ini.

Begitu mudah.

Mungkin aku sudah kehilangan jiwa. Mungkin hati nuraniku tak tersisa lagi.

Aku tahu itu hal yang salah. Tapi aku tidak bisa menghentikannya. Aku tidak seharusnya menghentikannya.

Karena ini sudah menjadi bagian dari hidupku.

Apa selamanya aku akan hidup seperti ini?

Apa mungkin aku tidak hidup seperti ini?

Aku tidak tahu.

Kalau ada kemungkinan untuk tidak hidup seperti ini, kehidupan seperti apa yang mungkin bisa kumiliki? Hidup normal, menjalani hari-hari seperti manusia pada umumnya? Menjalin hubungan, pertemanan, persahabatan, berpasangan dan berkeluarga?

Aku tidak punya alasan untuk melakukannya.

Atau sekarang aku punya.

Posisi dudukku sangat menguntungkan. Di bawah sinar matahari yang cukup terik namun bisa diterima di pesisir pantai Double Six, aku menatap Doy yang sedang mengobrol dan tertawa bersama Juan di meja seberang. Aku menopang dagu dan hanya bisa melihat sisi wajahnya, entah kenapa itu justru membuatku merasa sedikit senang.

Aku tidak ingin memikirkan kejadian semalam. Setelah kami membubarkan diri dari rooftop hotel─dan Marc akhirnya mendapat izin dari Jay untuk mengajakku keliling hari ini, Doy tidak bicara banyak, seperti biasa. Aku tidak bisa menebak apa yang ada di kepalanya, pun seperti biasa.

Mad CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang