23--Far Away

734 128 7
                                    

Aku selalu ingin menjelaskan apa yang kurasakan terhadap Doy. Aku selalu ingin menuangkan apa yang kupikirkan tentang Doy.

Begitu mudah, sekaligus begitu sulit. Aku semakin tidak mengenalinya.

Satu detik dia adalah orang yang kukenal. Detik berikutnya dia seperti orang asing yang tidak pernah mampir di hidupku. Aku semakin khawatir dengan perasaan yang kumiliki. Dan itu membebaniku.

Seharusnya aku sedang fokus dengan apa yang Valen katakan di dalam mobil, tapi pikiranku melayang pergi mencari sesuatu yang semu.

"Jess?!" Panggil Valen dengan nada tinggi, membuatku sedikit berjengit karena terkejut.

"Ya?"

Aku menoleh padanya, menemukan bahwa dia sedikit menepikan mobil dan mengamatiku dalam-dalam. "Gue nggak tahu lo lagi kenapa. Tapi gue mau lo fokus sama gue. Gue tahu ini nggak penting buat lo, tapi ini penting buat gue. Gue mau lo sepenuhnya di sini sama gue. Raga dan juga pikiran."

Aku menundukkan kepala. Merasa payah karena sebegitu mudah terdistraksi. Valen melayangkan jari telunjuknya untuk mendongakkan daguku. Mataku masih melihat ke bawah, namun aku tahu gerakan yang Valen buat semata-mata untuk membuatku fokus padanya.

Kami saling bertatap mata beberapa detik. "Just focus on me."

Dia puas dengan anggukan yang kuberikan padanya sebagai jawaban.

Valen ada mau, kalau tidak, dia tidak akan selembut ini. Atau memang pada dasarnya dia jarang kasar kepada wanita. Maka dari itu dia selalu sukses membuat semua wanita terbuai oleh perbuatannya.

Mungkin Valen yang bodoh, atau si wanita yang tidak punya otak karena seringkali mereka sampai kebobolan. Apa si wanita pikir Valen akan menerima buah hati yang tidak mereka harapkan itu?

"Gue terlalu jantan, makanya jadi terus." Ujarnya, memuji dirinya sendiri dengan nada suara yang congkak.

"Jantan apa bodoh sih, Bos?" Aku menanggapi.

Kalau kami bukan dalam keadaan seperti ini, aku yakin Valen akan mengamuk dan mencaci makiku habis-habisan. Tetapi sekarang adalah pengecualian.

Tentu saja karena dia membutuhkanku untuk membereskan kekacauannya.

Valen tertawa, "Dua-duanya, Jess. Lo selalu tahu dua-duanya."

Aku ikut tertawa, namun dengan nada yang lirih. Tidak ingin terlalu terbawa suasana.

Setengah jam kemudian aku dan Valen sampai di tempat tujuan. Kami membuka gerbang dan menginjakkan kaki di depan rumah mewah yang berada di tengah-tengah pemukiman di Den Pasar. Meskipun padat penduduk, suasana telah sepi senyap karena jam menunjukkan pukul dua dini hari.

Kami berjalan dengan santai, menghindari hal-hal mencurigakan yang tidak diinginkan barangkali ada orang yang tidak sengaja melihat kami di rumah itu. Ku lirik CCTV yang menyala di pojok langit-langit teras.

"CCTV-nya mati." Ujarnya singkat, menyadari diriku yang sedang mengamati lampu kamera yang tidak menyala. Pertanda bahwa ucapan Valen benar.

Valen mengeluarkan kunci rumah dan membuka pintu depan.

Aku menyiapkan diri dengan senapanku, namun Valen memberiku tanda untuk menurunkannya. Kami jalan mengendap-endap ke salah satu kamar yang berada di lantai dua. Kami menaiki tangga tanpa suara, kemudian sampai di kamar yang terdapat minim cahaya.

Kami menemukan sesosok perempuan yang sedang tidur terlelap dibalut selimut tipis yang menutupi setengah tubuhnya.

Dalam hati aku bertaruh dengan diriku sendiri, sudah berapa bulan anak Valen yang ada di kandungan perempuan ini. Dua bulan? Empat bulan, seperti biasanya?

Mad CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang