Live or die.
Hanya itu pilihannya.
Kejadiannya tiga tahun yang lalu.
Pagi hari kami dibangunkan oleh suara Doy berkeliling kamar. Ia selalu bangun paling awal, sebuah kebiasaan yang hampir sepanjang hidupnya ia lakukan. Tetapi hari ini terasa berbeda. Kalau biasanya Doy akan membangunkan kami dengan membuat suara berisik, kali ini ia berbisik dan membangunkan kami dengan suara lirih.
Yayan yang menyuruhnya. Ia mengabarkan bahwa ada orang penting yang akan datang ke markas. Saat itu kami masih tinggal di markas pertama kami. Kami tinggal di sana lebih lama ketimbang markas di Mad City.
Kami duduk sejajar setelah menyiapkan diri. Aku duduk tegak diapit oleh Winnie dan Kun. Kami dihadapkan pada seseorang yang kini duduk menyilangkan kaki dan berkacamata hitam di depan kami. Asap dari cerutunya mengepul rendah, menutupi sebagian wajahnya sehingga tidak terlihat jelas.
Pembawaannya sangat berwibawa dan mengintimidasi. Saat ia menatap kami lekat-lekat setelah mencopot kacamata hitamnya, aku langsung tahu siapa orang itu. Garis rahang dan hidungnya nyaris sama. Sulit dipercaya Jay benar-benar menuruni visual ayahnya. Sempurna.
"Kalian tahu siapa saya?"
Seolah seperti bocah yang meminta dukungan, kami saling tatap satu sama lain. Tidak yakin untuk menjawab, kemudian kami mengangguk ragu-ragu.
Prasasti Wirajuda. Bos dari segala bos Wirajuda.
Selama ini kami hanya mendengar namanya dari para trainer. Mereka bilang, Prasasti sangat mengintimidasi dan kejam. Dia bisa melakukan apa saja untuk melancarkan jalannya mendapat segalanya. Ia jarang ke permukaan, namun sekalinya muncul, dunia seolah tunduk padanya.
Aku bisa merasakan diriku menciut begitu berhadapan dengan pria di depan kami ini. Auranya tidak main-main, sangat mematikan. Seolah hanya ditatap saja olehnya aku bisa langsung mati.
Setelah bertahun-tahun kami dilatih, apa ini saatnya kami untuk mati?
"Anakku. Anak kesayanganku, Jay, yang membawa kalian ke sini, ingat?"
Kami mengangguk serempak.
"Jangan mengecewakan. Hidup atau mati."
Hidup atau mati adalah pilihan untuk kami, seolah hanya itu yang bisa kami lakukan pada akhirnya. Dia tidak membutuhkan konfirmasi, dia hanya ingin melihat kami meresapi kata-katanya sampai ke tulang rusuk. Bahwa kalimatnya bukan untuk permainan.
Dari matanya aku bisa mengartikan,
Kalian sudah ditampung di sini selama bertahun-tahun. Dididik, dibina, diberi kehidupan−hidup yang kelewat enak bahkan. Kalian bukan apa-apa kalau Jay tidak membawa kalian ke sini, kalian hanya seonggok gelandangan yang bisa mati kapan saja karena kelaparan dan tak kuat menghadapi dunia yang kejam.
Kalian sudah mengambil keputusan dengan bertahan di sini lebih lama. Hanya hidup atau mati.
Kalian milikku.
Jangan mengecewakan. Nyawa tak ada harganya untukku.
Kira-kira seperti itu apa yang tersirat dari tatapan matanya. Melontarkan kalimat tak terucap agar kami tahu diri siapa kami sebenarnya.
"Jangan mengecewakan." Katanya lagi. Kali ini menatap kami satu per satu; dengan tatapannya yang tajam, dalam, menusuk dan sukses membuat nyali kami lenyap. Lalu ia berhenti pada sosok di belakang kami. "They're yours now."
Kami tidak perlu menoleh ke belakang untuk memastikan dengan siapa ia bicara. Dia kemudian beranjak pergi sambil mengembuskan asap dari cerutu untuk terakhir kalinya, diikuti oleh beberapa pengawal berseragam hitam yang menjaganya di setiap sisi.
Sebegitu terancamnya kah? Sampai harus ada enam orang yang mengawalnya?
Kupikir, dia pasti punya banyak musuh. Tidak perlu dipertanyakan lagi.
Ruang kosong di depan kami tergantikan oleh sosok Jay yang kini duduk di tempat yang sama seperti ayahnya. Air mukanya sama-sama tegas. Air muka yang sudah diperlihatkannya sejak dua tahun terakhir. Dingin, datar, tak bernyawa. Sisi emosionalku mengatakan kalau hatinya ikut terbawa pergi bersama ibunya dari dunia ini.
"Kalian punya saya sekarang. Kalian adalah satu. Seperti yang ayah saya bilang, jangan mengecewakan. Jangan mengecewakan ayah saya, jangan mengecewakan saya, jangan mengecewakan diri kalian sendiri. Dunia berarti banyak dengan adanya kalian, jangan berpikir untuk mati. Atau kalian semakin tidak berguna." Kalimatnya menembus gendang telinga dan mengakar sampai ke hati.
Kami bergeming, mendengarkan pidato Jay dengan saksama. Aku ingin tahu seperti apa ekspresi teman-teman, namun sepertinya tidak jauh berbeda denganku.
"Yayan akan bimbing kalian sebelum ke lapangan. Mulai saat ini, kalian nggak akan tinggal di sini lagi. Kalian punya waktu sehari buat beres-beres dan pindah ke markas yang baru."
Yayan berdiri di samping Jay dengan tenang. Berbeda dengan ayahnya, Jay hanya perlu Yayan untuk berada di sisinya. Bukan setengah lusin manusia berseragam hitam dan berbadan kekar.
"You are one." Jay menegaskan sekali lagi.
Kami adalah satu. Kami tidak bisa dipisahkan. Enam tahun kami hidup bersama, saling bahu-membahu untuk bisa bertahan hidup. Menjalani kehidupan yang terlalu kejam untuk kami di luar sana, dan diberi kesempatan sekali lagi untuk menjadi lebih baik oleh Jay dan ayahnya.
Tak ada yang bisa kuucap selain rasa syukur.
Kami adalah satu.
――to be continued――
***
Double update yay (Chap 4 & 5). Are you enjoying this story so far?
Jangan lupa vomment guys.
Prasasti Wirajuda
-03052019-
melloizt©2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Mad City
General FictionI survive, nothing else matters. Until I see her. --Ardoyne OC x Ardoyne 🔞 melloizt©2019 melgerit©2023