37--Unmoved

577 128 7
                                    

🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞

Prasasti tidak perlu repot-repot untuk melakukan tindakan lain selain duduk di kursi yang Chrysan ambilkan di seberang ruangan, kursi yang sebelumnya kududuki. Keberadaannya saja sudah sangat mengintimidasi sekalipun tanpa sepatah kata terucap, apalagi saat ia akhirnya mengucapkan sesuatu.

"Jadi berguna itu susah, ya?" Katanya, dengan suara berat yang terdengar malas-malasan. Tangannya memainkan asap cerutu yang membumbung di antara jari-jarinya. "Kalau sudah tidak berguna harusnya mati saja. Buat apa hidup tapi tidak berguna? Betul? Doy? Jess?"

Dinding dingin yang sedang kusandari terasa semakin dingin, menusuk ke tulang-tulang punggungku. Aku bergeming, merasa tak berdaya karena sedikit dalam pikiranku, aku merasa mungkin aku akan mati sekarang, mati di tangannya.

"Kalau saya tanya, dijawab." Ucapannya begitu pelan, namun penuh penegasan di setiap katanya, tidak perlu menggunakan tanda seru.

Aku duduk dalam kegelisahan. Untuk pertama kalinya sejak aku di sini, aku akhirnya memikirkan mengapa aku harus diperlakukan seperti ini sementara aku tidak punya salah apapun. Sejauh yang kuingat, aku masih melakukan semuanya dengan baik-baik saja. Tanpa cela sedikitpun. Bahkan saat... aku sedang hancur-hancurnya sepeninggal Doy. Tapi ini...?

Ia tiba-tiba berdiri. Kulihat Chrysan meliriknya enggan sambil menelengkan kepala dan memainkan kuku.

Prasasti melangkah mendekat, kali ini melakukan sedikit usaha untuk semakin mengintimidasi kami. Dengan gerakan reflek aku beringsut mundur, padahal punggungku sudah mentok pada tembok. Aku tidak bisa menyembunyikan ketakutanku terhadap Prasasti.

Tidak pula Doy.

Kulihat matanya penuh dengan amarah, tangannya mengepal di kedua sisi. Tapi pancaran sinar matanya mengatakan bahwa ia takut. Aku sangat tahu alasannya. Terlebih saat tiba-tiba aku mendengar suara jeritan dari luar ruangan. Suara perempuan.

Suara Geneva.

Doy menoleh ke luar ruangan, mengikuti suara itu berasal. Kemudian tubuhnya gemetar menahan amarah.

Prasasti tertawa. Seolah-olah pemandangan di hadapannya adalah siaran komedi yang menghibur.

Setelah jaraknya hanya beberapa langkah dari posisi Doy, ia berjongkok. Mengulurkan tangan untuk menyentuh wajah Doy.

Aku panik, takut kalau Prasasti akan menyolok cerutu di tangannya ke wajah atau mata atau di manapun kepada Doy. Tapi saat ia menyentuhnya dengan satu tangannya yang bebas, aku merasa lega.

Ia mencengkeram kedua pipi Doy dengan satu tangan, sehingga Doy harus menatap lurus ke matanya yang mencekam.

"Beritahu saya kenapa saya harus membiarkan kalian hidup."

Terdengar jeritan lagi.

Bahu Doy naik dan turun dengan cepat, amarahnya hampir membuncah ke permukaan. Tapi dia masih bisa menahannya, membuat Prasasti menyunggingkan senyum terpaksa. Usahanya untuk membuat Doy melawan ternyata sia-sia.

"Kamu punya potensi yang tinggi, Doy. Sayangnya kamu tidak memanfaatkannya dengan baik." Ia menundukkan kepala, tersenyum singkat pada lantai. "Ternyata sekali sampah, tetap sampah." Ia mengucapkan kalimat terakhirnya sambil menggertakan gigi penuh kemuakan, menutupnya dengan sentakan keras pada pipi Doy sehingga tubuhnya limbung ke samping.

Ia berbalik memunggungi kami, kulihat ia meraba sesuatu di sisi tubuhnya. Sebuah pistol yang terbungkus aman di dalam wadah, tergantung mengancam di sabuknya.

No! no! Not now! I don't want to die!

"Bos Besar!" Teriakku, mencoba berimprovisasi supaya dia tidak perlu melakukan yang tidak seharusnya. Ia menurunkan tangannya di kedua sisi badan. Menoleh padaku dan memberiku perhatian. Good! "Boleh saya tahu kenapa saya di sini? Saya pikir saya tidak punya salah apapun." Ujarku setenang mungkin, meski aku menyadari masih ada sedikit getar di dalam suaraku.

Mad CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang