Kupikir Marc akan membawaku ke suatu tempat yang jauh, namun ternyata dia mengajakku ke rooftop hotel dan menghabiskan waktu di sana. Awalnya kami hanya berdua, makan dan minum wine buatan tahun 1955. Tidak lama setelah itu seseorang bergabung dengan kami. Aku tidak terpikir kalau dia akan datang, karena terakhir yang aku tahu, dia sedang persiapan ke Hongkong untuk urusan perusahaan.
"Hey, buddy! It's so good to see you here!"
Aku sampai harus membalikkan badan dari tempat duduk untuk melihat siapa yang Marc maksud.
"How can I leave you here alone? Have fun yet?" Jay menghampiri, melakukan tos ala mereka. Dia melihat keberadaanku dan menyapu daguku sekali dengan satu jarinya. Hm, genit.
"Of course. Having a good evening with this lovely lady is so fun. Jess is so beautiful, you guys ain't joking." Lagi, Marc menyanjungku. Can he stop please?
No.
Definitely no.
Because it's a part of my job.
"Your dress makes her thousand times more beautiful." Kata Jay. Kini dia memandangku tepat di mata, beserta senyuman menawannya. Menyembulkan dua lesung pipi yang membuatku ingin mencubit kedua pipinya.
Jess, sadar.
Sebuah suara dari dalam kepalaku seolah berkata. Tidak seharusnya aku merasa begitu. Posisi itu bukan milik Jay. Tanpa ditanya pun seharusnya aku tahu itu milik Doy.
"Bukannya kamu ke Hongkong?"
"Besok pagi. Sekarang transit dulu."
Aku mengangguk-angguk mengerti, kemudian pramusaji datang untuk menuang wine yang baru Jay pesan ke dalam gelas kami bertiga. Kadar alkohol dalam wine yang kami minum tidak tinggi, jadi aku bisa menikmatinya banyak-banyak tanpa takut teler dan terjadi hal yang... tidak diinginkan. Terlebih saat Doy tidak ada di sisiku.
Memangnya kenapa kalau ada Doy di sisiku?
Entahlah. Mungkin aku jadi merasa aman saat bersamanya.
Ada rasa gelisah di dalam hati. Di sisi lain aku merasa aman saat bersama Doy, tetapi juga merasa ada sesuatu yang janggal karena aku harus bergantung pada orang lain. Aku tidak biasa menggantungkan segala sesuatu pada orang lain. Aku selalu bisa melakukan apapun sendiri.
Tapi sekarang, aku mulai terbiasa dengan keberadaannya yang tidak biasa.
Sepanjang aku mengenal Doy─sampai sebelum kejadian ciuman kala itu, Doy tidak lebih dari sekadar teman seperjuangan. Tetapi sekarang dia lebih dari itu.
He's everything.
Otakku terkungkung dengan pikiranku sendiri, sampai aku tidak mendengar Marc telah bicara padaku dan mengulang kalimatnya sampai beberapa kali.
"Jess? Saya udah minta sampe tiga kali loh. Kamu nggak mau dansa sama saya?"
"Hah? Iya? Maaf, gimana?"
"Kamu mikirin apa kok sampe melamun begitu?"
Aku menggaruk tengkuk kepalaku yang tidak gatal. "Oh, nggak kok."
Kupandangi tangan Marc yang masih terulur di depan wajahku. Ragu-ragu─sambil melirik pada Jay yang sedang memandangiku dengan raut wajah kecut─aku menerimanya.
Jari-jari tangan Marc terasa kecil di dalam genggaman jari-jariku yang panjang. Meskipun begitu kulitnya terasa halus dan hangat. Benar-benar tidak cocok dengan jiwanya.
Marc merapatkan posisi tubuh kami, aku agak terkejut saat dia melakukannya karena bisa dibilang tubuh kami sangat dekat dan hampir menempel. Aku berdeham, mengalihkan perhatian dari ketidaknyamanan yang kurasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mad City
General FictionI survive, nothing else matters. Until I see her. --Ardoyne OC x Ardoyne 🔞 melloizt©2019 melgerit©2023