11--Entangled

1.1K 177 15
                                    

🔞

Aku menemukan diriku terbangun lebih awal saat suara ayam jago berkokok dari rumah tetangga. Suatu hal yang sangat jarang bisa kutemui. Di markas jauh dari mana-mana bahkan dari wilayah Madison High City yang baru. Kami hidup di tengah-tengah kematian, hanya kami kehidupan yang ada. Suara padat kendaraan, ayam berkokok, adzan berkumandang, hampir mustahil menemuinya.

Kami tinggal di kota yang tak bisa terlihat. Kami tak boleh terlihat. Kami tak boleh terdeteksi.

Aku tidak terkejut saat merasakan tangan Doy berada di atas kepalaku. Dia punya kebiasaan tidur yang begitu−menyentuh orang yang tidur dengannya. Seringkali aku melihat Doy dan Juan tidur berpelukan, atau siapapun yang saat itu tidur dengannya. Beberapa kali saat bersamaku juga seperti itu. Tidak mengejutkan.

Aku turun dari ranjang, menuju ke toilet dan membasahi wajahku dengan air, kemudian minum segelas air dari galon di dapur. Aku bisa melihat lapangan rumput yang cukup luas di belakang rumah, terlihat langsung dari jendela di dapur. Aku keluar melalui pintu belakang dan menapaki rerumputannya. Embun pagi yang segar menyeruak ke dalam hidungku, mengingatkan hal-hal familiar.

Kakiku melangkah sampai tiga kali putaran, sementara pikiranku berputar-putar entah ke mana. Sejak semalam aku bertanya-tanya, apa jantung dibuat untuk berdetak seperti itu? Seperti saat aku bersama Doy? Kenapa jantungku selalu serasa ingin meloncat dari dalam dada ini? Sekilas, perasaan seperti itu sangat menyiksa, namun juga menyenangkan. Aku tidak mengerti.

Dari yang kuamati, berdasarkan beberapa film yang pernah kutonton, gejala yang kualami adalah... mungkin karena jatuh cinta. Apa itu betulan? Jatuh cinta adalah nyata?

Bukan hanya sekadar suka atau ngefans?

Apa aku jatuh cinta pada Doy?

Apa aku boleh jatuh cinta pada Doy, atau seseorang? Kriminal sepertiku?

Aku tidak yakin jawabannya. Tapi aku nyaman bersama Doy.

Keterbatasan lingkungan dan lingkaran yang kumiliki rasanya tidak membantuku sama sekali. Aku ingin tahu apa perasaan semacam ini betulan karena aku jatuh hati pada Doy atau bukan. Ingin rasanya menumpahkan keluh-kesahku, namun orang yang biasa mendengar ceritaku adalah Doy sendiri. Tidak mungkin menceritakan hal ini padanya.

Mataku menangkap sosok Doy yang sedang mengulet di dekat jendela pintu belakang. Kupikir dia akan menghampiriku di seberang lapangan, namun ternyata dia berjalan ke depan jendela dan duduk di bangku panjang yang terdapat di sana. Matanya tertuju padaku, mata black hole-nya. Yang akan selalu menarikku pada keberadaannya.

Dengan begitu aku berjalan mendekat padanya, ikut duduk di sampingnya. Ia merapatkan jarak duduk kami dengan merangkul leherku.

"Pagi banget bangunnya?"

"Pagi apanya? Matahari aja udah tinggi begitu."

Dia menguap sekali, "Baru jam delapan."

"Udah jam delapan." Aku meralat.

"Biasanya kita bangun lebih awal, Doy. Biar nggak keliatan orang."

"Nggak kalo pas libur."

Aku menggenggam tangannya yang menggantung di bahuku. "Hari ini harus puas-puasin bareng Neva. Besok udah harus cabut lagi." Aku menoleh pada sosoknya yang hanya berjarak beberapa senti.

Ia membalas pandanganku, "Iya."

Aku melihat ada bulu mata yang jatuh di bawah matanya, tanganku refleks mengambilnya tanpa permisi. Doy membulatkan mata karena gerakanku yang tiba-tiba. Entah kenapa jarak di antara kami seolah semakin menipis. Aku bisa melihat rambut-rambut kecil yang tumbuh di atas bibir Doy. Kumis tipisnya.

Mad CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang