31--Abandoned

687 117 15
                                    

🔞🔞🔞🔞

Senyumannya simpul, terkesan datar bahkan. Seolah senyuman itu akhirnya muncul karena suatu paksaan. Dan ia memberikannya padaku.

"Ke mana aja dari kemarin?" Tanyaku, tanpa bisa terbendung kalimat itu keluar begitu saja. Terlalu kentara untuk menyangkal bahwa aku tidak menunggunya. Dan dia tahu itu. Dia hanya bergeming, tanpa berusaha untuk menjawab pertanyaanku dengan tepat.

Aku menghadap pada tubuhnya sepenuhnya, menunggu ia merengkuhku ke dalam pelukan dan menjelaskan semuanya. Tapi sepertinya aku berharap terlalu banyak, karena pada nyatanya ia hanya berdiri mematung di tempat yang sama. Menatap mataku dalam-dalam.

Kali ini mata lubang hitamnya tidak menarikku masuk ke dalam pusaran, aku tidak tahu apa yang ada di sana. Aku tidak bisa membaca apa yang ia pikirkan. Aku takut dengan kemungkinan yang akan dia lakukan berikutnya.

Ketika dia menghela napas dan menundukkan kepalanya, aku tahu mengapa.

Sudah jelas.

Semuanya sudah jelas.

Ada benteng di antara kami berdua, dan aku ragu apa pemisah itu bisa runtuh.

"Jess..." Panggilnya, begitu lembut. Aku bisa mendengar keputusasaan di dalam suaranya.

"Nggak." Ujarku, menjawab semua pertanyaan yang belum sempat ia lontarkan.

"Please, Jess. Gue minta lo untuk mengerti." Ia maju satu langkah, namun aku mengangkat tangan dan memintanya untuk berhenti di sana.

"Gue nggak perlu mengerti. Semuanya udah jelas. Dan gue bilang nggak."

"Jangan bikin gue di posisi sulit. Please."

Aku menautkan alis, "Sorry? Tapi lo sendiri yang membuat diri lo di posisi sulit. Bukan gue."

Doy mengangkat tangannya ke kepala sambil berjalan mendekat, meremas rambutnya frustasi.

Aku ingin mengabaikannya, aku ingin tidak peduli. Tapi rasanya sulit. Dia berdiri hanya satu langkah jauhnya dari hadapanku, apa aku masih akan menyia-nyiakan kesempatan ini? Satu minggu tanpa keberadaannya, satu minggu tanpa kabarnya, satu minggu tanpa tahu apa dia baik-baik saja─sudah cukup untukku.

Aku tidak bisa melihatnya seperti ini. Dan aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padanya berikutnya. Ia tidak bisa memilih jalan ini. Ia harus bertahan, demi semua orang dan dirinya sendiri.

Maka aku menghapus jarak itu, menyentuh kedua pipinya dan membiarkan diriku masuk ke dalam pusaran lubang hitam di matanya. "Please. Gue mohon. Jangan pergi."

Ada sesuatu yang membakar dadaku. Rasanya begitu perih dan membuat napasku sesak. Mataku tiba-tiba menguap dan berair. Aku serasa tidak bisa menahannya lagi. Ini sesuatu yang tidak pernah kupelajari di training. Aku tidak tahu bagaimana menahan air mata agar tidak menetes.

Ia melakukan hal yang sama sepertiku, menangkup kedua pipiku di telapak tangannya. Aku bisa merasakan ibu jarinya mengusap air mata yang membasahi pipi. Lubang hitam itu kini mendung, bersahutan denganku. Tatapannya berkeliaran menatap wajahku, tidak tahu di mana tepatnya ia ingin mendaratkannya.

Kemudian aku menarik wajahnya mendekat. Menempelkan bibirku di bibirnya, sambil mencari cara supaya dia tetap bertahan dan tidak pergi.

Awalnya dia tidak membalasku sampai akhirnya ia bergerak seirama dengan bibirku.

Aku menciumnya semakin dalam, mengalihkan perhatiannya yang sulit diruntuhkan. Saat ia merengkuh pinggangku dan mendesah lirih, aku tahu ia membiarkanku melakukannya─meruntuhkan isi kepalanya.

Mad CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang