35--Mad Crown

668 136 14
                                    

🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞

Sayup-sayup kudengar suara tangisan dari kejauhan. Aku tidak bisa memastikan apa suara itu ada di dalam mimpiku atau bukan, terdengar terlalu nyata di telingaku.

Kepalaku serasa berputar, kelopak mataku berat, namun aku tahu aku harus membuka mata. Kegelapan menyapa kedua mataku, membelaiku dengan lembut, hanya ada cahaya redup di sudut ruangan, berasal dari lubang ventilasi yang ditancapi jeruji besi.

Di mana aku?

Aku berdecih saat mencoba untuk bergerak, menyadari rasa pegal di punggung dan kedua tangan. Pantas saja terasa pegal, ternyata tangan dan badanku diikat dengan tali begitu kencang di atas kursi. Aku bahkan tidak bisa menggerakannya sedikit saja.

Suara tangisan itu terdengar lagi, aku segera mengumpulkan konsentrasiku secepat mungkin supaya aku bisa memastikannya dengan benar. Bau lembab dan tanah langsung menyeruak ke dalam indera penciumanku. Menyapaku dengan begitu tenang, memberitahuku secara tidak langsung di mana aku sekarang.

Kupikir aku tahu tempat ini.

Aku membuka mata sepenuhnya. Memfokuskan pandangan pada ruangan di sekitarku. Mataku mulai terbiasa dengan kegelapan yang menyelimutiku. Semakin terbiasa di dalam kegelapan, mataku bisa melihat sekitarnya dengan lebih jelas daripada sebelumnya.

Aku bisa melihat seseorang lima meter jauhnya duduk di atas kursi. Dari postur tubuh dan siluet rambut panjangnya aku tahu kalau dia seorang perempuan.

Perempuan?

Lalu di dekat sudut ruangan aku menemukan sosok lain yang tersungkur di tanah. Badannya tergeletak begitu saja, tidak sadarkan diri.

"Halo?" Ujarku dengan suara parau, mencoba untuk berinteraksi dengan sosok yang sedang menangis itu.

Ia berhenti sejenak, kemudian berteriak begitu keras dengan semua kata-kata yang keluar dari mulutnya. "Kkkjzzneekkuggnnhhaa! Kktlnggnnkkaakkddooww!"

"Hah?" Aku tidak bisa menangkap kalimatnya sedikitpun. Kutebak mulutnya dibebat dengan kain, aku hanya bisa mendengar gumaman dan geraman saja. Sialan!

"Genewa kk. Genewa." Kucerna apa yang ia katakan, mencari kemungkinan yang bisa kutemukan. Kemudian ia berteriak lagi, frustasi dengan kelambananku. "Genewa genewa genewa! Ge ne wa."

Genewa?

GENEVA??!!!

"GENEVA??!!! NEVA ITU KAMU?" Jantungku tiba-tiba berdetak dengan cepat. Kenapa Neva ada di sini? Kenapa dia harus diikat dan dibungkam?

Aku hanya mendapat jawaban berupa rengekan dan tangisan yang semakin menjadi-jadi. Brengsek! Siapa yang berani-beraninya bawa anak kecil ke sini?! Anjing.

"Kamu kok bisa di sini, Neva? Kamu harusnya jauh dari sini. Harusnya kamu nggak di sini!" Mendadak aku merasa frustasi dengan kenyataan yang kuhadapi. Seharusnya dia bersama Doy, hidup aman dan jauh dari semua ini. Bukannya di sandera seperti sekarang!

Di sisi lain, aku mulai menyalahkan tindakan Doy yang akhirnya menjadi kenyataan. Dia tidak bisa hidup dengan Neva dengan mudah. Kepergiannya hanya membuat semuanya semakin rumit dan berbahaya. Goblok, goblok!

Sekarang ketakutanku menjadi nyata. Dan aku tidak tahu bagaimana harus meluruskannya.

Neva masih meraung-raung dan merengek di dalam tangisannya.

"Neva, Neva. Dengerin kakak. Sebentar aja." Pintaku, memintanya untuk fokus kepadaku, sekaligus untuk meredakan tangisannya. Jujur saja aku tak bisa mendengarkannya lebih lanjut.

Mad CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang