16--Who Am I

1K 161 23
                                    

Aku tidak mengerti mengapa tiba-tiba aku membandingkan diriku sendiri dengan Doy. Mungkin aku ingin menilai diriku sendiri. Apa aku memang pantas untuknya atau tidak. Dari luar saja langsung kelihatan kalau jawabannya tentu tidak.

Siapa diriku sampai boleh bersandingan dengan Doy?

Aku dan Doy memang sama-sama kriminal. Tetapi itu bukan suatu jalan untuk kami bisa bersama.

Tunggu, memangnya Doy mau bersamaku? Aku mendengus, menertawakan diri sendiri. Di otakmu sedang ada apa sih, Jess?

Entahlah. Aku tidak bisa berpikir jernih.

Sepanjang hidup, aku tidak pernah merasakan hal semacam ini. Menyukai seseorang dalam arti sebenarnya−menggunakan perasaan, mencurahkan hati, merasakan cinta−belum pernah menjadi sorotan untukku.

Kalau dilihat dari semuanya, mungkin hanya aku yang tidak punya orang tersayang. Aku sampai bingung kalau mendapat jatah libur cukup lama, harus ku apakan waktu senggang itu. Karena tidak ada alasan bagiku untuk pergi dari Mad City. Mungkin aku tidak sendiri, karena Winnie dan Leon juga merasakan hal yang sama.

Seringkali kami hanya bertiga di markas. Atau berkunjung ke Marleen. Bahkan pernah kami menghabiskan malam konyol di pasar malam sambil mencoba semua wahana yang tersedia di sana. Sekosong itu hidupku tanpa orang tersayang. Kemudian menyadari, merekalah orang tersayang untukku. Orang yang kurela melakukan apa saja.

Hanya mereka keluargaku, Mad City.

Aku pernah beberapa kali bersama Juan diam-diam berkunjung ke rumah lamanya, mengamati si bapak tua yang kini hidup sendiri. Tidak ada yang berubah dengan ayah Juan. Aku bisa melihat raut kekecewaan di wajahnya, meskipun begitu, ia masih tetap melakukannya di setiap jatah libur.

Aku juga pernah bertamu ke kediaman Kun, mengunjungi ayah dan ibunya yang ramah. Kemudian aku tahu dari mana sifat baik Kun diturunkan. Di lain waktu aku juga pernah menemani Ten membagikan makanan dan minuman untuk para gelandangan, melakukan hal sama persis seperti orang yang Ten kagumi, Si Mahasiswa di masa lalu.

Paling sering, aku ikut Doy pulang ke rumahnya untuk bertemu Neva dan Ariel.

Dan yang tidak pernah ku lakukan, pulang ke rumahku sendiri dan menemui orang yang ku sayang. Karena memang tidak ada. Aku tidak punya tempat untuk disebut rumah, aku tidak punya seseorang untuk disayang.

Punya hati dengan benar saja aku tidak bisa, apalagi menggunakannya untuk menyukai orang lain? Aku bahkan tidak menyukai diriku sendiri. Pembunuh berdarah dingin.

Selama delapan tahun kami dididik bersama secara privat, belajar teori dan praktik setiap harinya. Menjalani kehidupan ini hanya untuk menjadi senjata milik Wirajuda. Apa yang kuharapkan dengan kenyataan ini?

Kisah cinta romantis? Menjalani hidup dengan normal? Punya identitas?

Nope.

Kami tidak terlahir untuk seperti itu.

Maka, ketika aku dan Doy tidak membahas kejadian saat itu lebih lanjut, aku pun hanya bisa terdiam. Berspekulasi dengan isi kepalaku sendiri.

"Jadi mereka asli Cirebon, Kun?"

Ia mendongak dari tablet di tangannya. "Bukan. Dari yang gue perkirakan bos mereka lagi ambil barang gitu ke Cirebon. Mereka bener-bener kecil sih, sampe bos aja turun tangan langsung."

Aku dan Juan mendengarkan dengan saksama, minum sekaleng bir di ruang tengah. Aku masih belum bicara dengan Doy, atau lebih tepatnya, dia tidak bicara dengan siapapun di markas. Sejak kemarin dia menghilang.

Aku tidak tahu ke mana dia pergi. Setahuku, Jay sudah mengatakannya dengan jelas kalau kegiatan untuk sementara dijeda sampai kami menemukan komplotan itu. Jadi agaknya tidak mungkin kalau Doy sedang solo.

Mad CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang