🔞🔞
Thank you for 500 votes!!!! 😭
Begitu menyadari apa yang sedang terjadi, aku ingin cepat-cepat pulang ke markas. Tetapi perjalanan masih panjang untuk sampai di Mad City. Aku harus bertahan satu hari lagi di rumah Kun.
Seharusnya aku bisa melewati saat-saat itu dengan bahagia bersama keluarga Kun yang hangat, bersama Ten yang selalu ceria. Namun sebagian diriku telah pergi dari sana. Aku ingin memberitahu Doy dan yang lainnya tentang ini. Tentang apa yang kami temukan jauh dari Mad City.
Aku seperti menemukan peta harta karun. Sesuatu yang sangat berharga.
Entah keberuntungan apa yang menimpa kriminal dan pendosa seperti diriku sampai Tuhan mengizinkanku untuk punya kesempatan bertemu dengan keluarga yang tidak kuingat lagi. Apa mungkin bagiku untuk bisa bertemu dengan mereka?
Entahlah.
Bali...
It's such a far place, yet I always feel like home everytime I am there.
Tanganku bergetar. Sudah berjam-jam aku menatap kertas selebaran di genggamanku, membaca tulisan yang tertera di sana ratusan kali.
Satu tanganku memegang kertas itu sampai pinggirannya kini lecak. Satu tanganku yang lain menyentuh layer ponsel, menekan beberapa angka kemudian menghapusnya. Tidak begitu yakin aku punya keberanian yang cukup untuk menghubungi nomor telepon milik orang bernama Aston itu.
Kupikir dia pasti keluargaku. Ayah? Kakak? Adik?
Aku tidak tahu.
"Mau lo liatin kertas itu sampe mati kalo lo nggak nelfon-nelfon ya mana nyambung."
Aku sedikit terlonjak saat Ten tiba-tiba berbisik di telingaku tanpa memberi aba-aba. Kukira suara hantu.
"Hh! Bikin kaget aja, sih!"
Ia mengambil duduk di sampingku di atas ranjang Kun. Kami ada di kamarnya saat itu. Ten baru saja mandi dan rambutnya yang basah sedang ia keringkan dengan handuk. Mencipratkan beberapa tetes air ke arahku dengan sengaja.
Dari semua teman-teman, anak buah Jay, dalam keadaan tertentu entah kenapa aku paling nyaman dengan Doy, Kun dan Ten. Mungkin karena mereka seumuran denganku, jadi aku bisa lebih bisa mencurahkan hal-hal yang hanya bisa kita rasakan atas dasar persamaan usia.
Terkadang aku beranggapan kalau umur sangat menentukan bagaimana kita akhirnya mengambil keputusan dan menanggapi suatu masalah. Di samping itu, pengalaman hidup juga mempertajam penilaian yang kita buat.
Bukan berarti aku tidak menghormati Winnie, Leon atau Juan, hanya saja aku menganggap mereka seperti adik. Sulit bagiku untuk meminta pendapat mengenai hal tertentu pada mereka.
Mungkin sudah jadi naluri orang yang lebih tua untuk terlihat bisa dan kuat di depan orang yang lebih muda. Begitu pula denganku, yang ingin bisa menjadi sandaran dan tempat yang aman untuk mereka.
Mungkin juga karena kami adalah yang tertua di antara semuanya. Dari Jay sekalipun.
Orang-orang Wirajuda? Lain lagi ceritanya.
Kami tidak terlalu dekat untuk hanya sekadar mencurahkan perasaan kami. Yang ada kami akan di tertawakan dan dianggap remeh karena menunjukkan tanda-tanda kelemahan, tidak kuat.
Tapi aku tidak perlu melakukannya di depan teman-temanku. Kecuali mengenai misi dan hal-hal yang bersifat sangat pribadi, kami tidak membaginya.
Kami semua seperti itu. Sekali lagi, terima kasih kepada Jay yang telah mempertemukan kami dengan tepat. Karena kalau tidak tepat, kami tidak akan bisa sejalan dan tidak ada perasaan sepenanggungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mad City
General FictionI survive, nothing else matters. Until I see her. --Ardoyne OC x Ardoyne 🔞 melloizt©2019 melgerit©2023