🔞🔞
Mungkin, untuk pertama kalinya dalam seumur hidup, aku baru pernah melihat Doy menangis. Sekeras ini. Beberapa waktu lalu Winnie sempat mengatakan kalau Doy menangis saat aku tidak sadarkan diri pasca penyerangan di Gudang 7. Namun aku tidak melihat bagaimana air mata itu mengalir dari kedua matanya.
Kali ini, aku melihatnya dengan jelas. Mengalir deras seperti air hujan yang turun di penghujung tahun.
Meskipun tangisan itu tidak bertahan lama, aku bisa merasakan kepiluan dan keputusasaan di dalam ucapan yang ia sertakan. Ia memanggil nama Geneva berulang kali, berucap maaf dan sumpah serapah yang tak tertinggal.
Ia terlarut dalam pikirannya sendiri selama satu jam. Dan dalam satu jam itu aku hanya bisa memandanginya tak berdaya. Aku ingin mendekat namun sepertinya bukan waktu yang tepat untuk melakukannya. Selain itu, hubungan terakhir kami tidak sedang dalam keadaan yang baik.
Aku juga tidak ingin memperumit keadaanya dengan memberinya masalah lain. Jadi aku menyimpulkan, dengan menjaga jarak dengannya adalah langkah terbaik.
Jeritan Geneva akhirnya berakhir saat Doy berteriak memanggil siapa saja yang ada di balik pintu untuk memberinya kesempatan bicara.
Kupikir Jay akan masuk ke dalam ruangan dan mendengarkan ucapan Doy, namun aku menemukan sosok Valen yang sekarang sedang berdiri bersandar pada bingkai pintu, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, memandangi kami dengan tatapan enggan dan muak.
"Kalo gue sampe dateng ke sini sia-sia, nyawa adek lo yang bakal sia-sia."
Doy langsung panik, "Nggak, nggak, gue mau ngomong beneran." Doy duduk bersimpuh di tanah dengan tegap, menatap Valen tepat di mata, meyakinkannya bahwa apa yang akan dia ucapkan berikutnya adalah sungguh-sungguh. "Gue nggak tahu mereka di mana, tapi terakhir yang gue tahu, mereka nggak di Sulawesi lagi. Mereka bilang mereka ada urusan di Nusa Tenggara, atau Bali, atau Surabaya gue nggak tahu pasti. Tapi itu yang sejauh ini gue tangkep."
Valen memutar bola matanya, tidak cukup yakin dengan semua laporan Doy.
"Sumpah gue nggak bohong!"
Valen berdecak, "Mau lo bersumpah demi Tuhan, demi adek lo, demi Jess, demi diri lo sendiri, demi apapun, kalo nggak ada buktinya, ucapan lo nggak bakal valid, Doy."
Doy terdiam, cukup lama sampai Valen semakin enggan dan hampir meninggalkan kami saat kalimat Doy berikutnya membuatnya berhenti seketika. "Gue bisa buktiin. Tapi bukan gue yang bisa memastikannya. Gue butuh bantuan, setelah itu kalian bisa tahu di mana posisi Adirama. Gue jamin seratus persen."
Raut wajah Valen berubah menjadi sumringah, meskipun hanya sedikit saja. Tetapi setidaknya itu adalah pertanda yang baik. Valen menelengkan kepala, menunggu kelanjutannya.
"Bawa Kun sama Ten ke sini. Mereka bisa bantu kalian."
Valen mendengus, "Good idea, Doy. But I'm not gonna buyin' it."
Doy mendesah gelisah, "Gue bukan mau sekongkol sama mereka buat kabur. Adek gue ada sama kalian, buat apa gue bohong?"
Valen mendengarkan.
"Kalo anak buah lo ada yang setara sama Kun, gue nggak bakal minta dia buat ke sini."
Dalam kekacauan ini, aku ingin tertawa, namun rasanya sangat tidak lazim maka aku hanya diam saja. Riak wajah Valen langsung kecut mendengar kenyataan yang Doy lontarkan.
Valen menggeram rendah, dan sepertinya usaha Doy berhasil karena Valen kini mengambil ponsel di saku celananya, menekan tombol di layar untuk menghubungi seseorang dan memberitahu apa yang baru saja Doy sampaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mad City
General FictionI survive, nothing else matters. Until I see her. --Ardoyne OC x Ardoyne 🔞 melloizt©2019 melgerit©2023