Aku mau ucapin makasih banyak buat yang ngevote dan recognized work ini di base, ya ampun gak nyangka huhu sayang kalian semua!
***
"Dek..." Sebuah suara terdengar dari kejauhan. Suara yang entah kenapa terdengar sangat familiar.
Suara panggilan itu tergantikan oleh suara langkah kaki yang semakin mendekat. Kubuka mataku perlahan-lahan, menampilkan langit biru bermandikan awan putih. Langkah itu berhenti, memunculkan seorang laki-laki berdiri di sampingku, kepalanya tertunduk padaku, menghalangi penglihatanku akan langit di atas sana.
"Tidur mulu sih, Dek. Ayo udah kelar tuh, bantuin Mas bawa rumput." Ucap laki-laki itu, menggunakan logat Bahasa Jawa yang begitu kental.
Hah? Bawa rumput?
"Males ah, Adek mau nemenin Alfred aja. Biar dia nggak ilang."
"Alfred kan udah sama temen-temennya, nggak bakalan ilang juga kali. Mending bantuin Mas, itu udah Mas iketin ukuran kecil biar bisa kamu bawa." Aku mendesah keras-keras. Lalu mengelus seekor kambing yang paling dekat dengan posisiku.
"Alfred, kamu sama temen-temen kamu dulu ya. Mba harus bantuin Mas, biar nggak cerewet mulu." Alfred hanya mengembik lirih dan berjalan pergi, mematuhi ucapanku.
"Bocah edan." Gerutu si Mas.
Aku berjalan dengan kaki telanjang mengikuti laki-laki itu menyusuri padang rumput, berjalan semakin jauh menuju tempat yang sangat tidak biasa. Rumah-rumah bambu dan suara-suara binatang dari dalamnya. Bau rumput yang baru dipotong membuat perasaanku membaik, meskipun aku sedih karena harus berpisah dari Alfred.
"Jess? Cepetan jalannya!" Laki-laki itu berteriak, namun aku mengabaikannya. Dengan kaki kecilku, memangnya aku bisa mengikuti langkahnya yang panjang-panjang itu? Aku menggerutu sebal, sampai tidak melihat ada lubang kecil tertutup rumput lebat, membuatku terperosok cukup dalam.
"Dek!!" Aku mendengarnya berteriak lagi.
***
Seharusnya aku terperosok ke dalam tanah dan seharusnya aku masih bisa merasakan bau rumput yang baru dipotong, namun hidungku menangkap bau menyengat yang berbeda. Mataku terbuka perlahan, menampilkan langit-langit ruangan berwarna putih, bukan langit biru terang benderang.Aku berada di tempat yang berbeda.
"Jess?"
Seseorang menundukkan kepala, menghalangi penglihatanku akan langit-langit ruangan.
Ah, Doy.
Aku mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba memfokuskan mataku dengan keadaan sekitar. Aku bisa melihat Juan sedang tidur di sofa dan Winnie berdiri di samping dispenser dengan segelas minuman di tangannya. Mataku kembali pada Doy.
"Apa yang lo rasain?"
Aku melihat kantung mata yang menghitam di bawah mata Doy. Dia pasti kurang tidur.
"Sekarat."
Doy terkekeh, padahal aku tidak bermaksud melawak. Kupikir tadi aku sudah mati dan berada di surga, tapi aku bertanya-tanya apa di surga ada kambing dan sapi?
"Berapa hari gue sekarat?"
"Tiga hari."
Tiga hari? Selama itukah aku sekarat?
"Syukurlah lo nggak mati."
"Kalo gue mati, lo nggak punya bahan ledekan. Hidup lo bakal datar." Ujarku sinis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mad City
General FictionI survive, nothing else matters. Until I see her. --Ardoyne OC x Ardoyne 🔞 melloizt©2019 melgerit©2023