9--Unfamiliar

1.3K 197 16
                                    

🔞

Sejak kepulanganku dari rumah sakit satu minggu yang lalu, hampir setiap malam aku memimpikan hal yang sama. Masih tentang Alfred dan laki-laki itu. Kupikir seiring berjalannya waktu, mimpiku akan berlanjut, ternyata hanya berulang-ulang pada hal yang sama.

Tidak ada tambahan, tidak ada info baru. Atau mungkin karena aku juga tidak berani menggalinya lebih dalam. Aku tidak biasa terserang panik, bisa dikatakan tidak pernah bahkan. Namun kejadian di rumah sakit tempo hari membuatku takut.

Selama di markas saat pemulihan, Doy menemaniku hampir setiap saat, sesekali bergantian dengan Juan. Aku meminta mereka untuk mengabaikanku, tapi Doy tidak mendengarkan.

"Lo nggak sibuk emangnya ya?"

"Sibuk."

Aku mengerutkan kening, "Kalo lo sibuk, ngapain lo di sini? Gue udah sembuh kok. Ditinggal sendiri aja nggak apa-apa."

Doy menatapku garang, "Gue sibuk. Ini kesibukan gue."

Aku memincingkan mata.

"Gue sibuk rawat lo."

"Halah kesibukan lo kan ngomelin orang sakit."

"Kalo yang sakit nggak batu mana ada gue ngomel-ngomel? Gue kayak gitu karena gue peduli."

Aku tidak tahu bagaimana harus meresponnya. Hanya perasaanku saja atau sejak aku sekarat saat itu Doy jadi berperilaku berbeda? Mungkin hanya perasaanku saja. Wajar kan teman setim merawat rekannya yang sakit? Iya, wajar kok.

"Iya... Makasih Doy."

Doy menghela napas, "Gantian. Dulu kan lo yang rawat gue waktu tangan gue nggak fungsi."

Aku teringat dengan kejadian saat itu. Doy patah tulang di tangan kanannya saat sedang melakukan misi. Tangannya terhantam balok kayu dan menyebabkannya dirawat di RSBW selama dua minggu. Bukan aku saja yang merawatnya, kami semua bergilir untuk menjaga Doy. Sekarang giliran dia yang merawatku.

Bukan sesuatu yang spesial, Jess. Nanti kalau yang lain sakit, Doy juga bakal rawat, bukan ke lo aja dia begitu. Oke, oke.

Aku kenapa sih? Kok jadi mikir ke arah sana mulu?

Diperhatikan bukan suatu hal yang biasa untukku, terlebih perhatian yang semacam ini. Aku tidak bisa memungkiri ada rasa yang tidak familiar di dalam hatiku. Aku belum bisa mengartikannya, tapi rasa itu selalu timbul saat aku sedang bersama Doy.

Ponsel Doy berbunyi, membuatnya segera bergegas ke luar kamarku. Dari atas ranjang aku bisa mendengar percakapannya.

"Ya ampun, nggak usah. Kakak nggak bisa ketemu dulu dekat-dekat ini... I-iya, kakak di Surabaya. Akhir pekan ini aja nanti kita ketemu ya... kakak pasti pulang... sama Kak Jess? Coba nanti... iya, miss you too."

Doy menautkan alisnya, pertanda kalau dia merasa tidak setuju dan sebal. Bertahun-tahun bersamanya membuatku terbiasa untuk membaca apa yang sedang Doy pikirkan. Hal itu berlaku juga untuk yang lain.

"Rewel banget heran."

"Kenapa lagi?"

"Neva tuh ngebet banget pengen ketemu. Nggak tau deh ada apaan. Pake ada acara mau nyamperin gue di mana segala. Ya mana bisa."

"Mungkin lagi ada butuh?"

Doy menghela napas panjang. "Mungkin. Bentar lagi mau magang katanya."

"Oh."

Aku beranjak dari kamar dan duduk di ruang tengah, menghadap Doy yang sedang terlentang sambil menatap langit-langit. "Adek gue udah gede, Jess. Tahun ini masuk kepala dua."

Mad CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang