TIGA PULUH ENAM-RIVAL 1

4.5K 235 21
                                    

Kini dihadapan Rei sudah ada dua kubu, yang pro dan kontra terhadap kebijakannya mengenai pemecahan bidang usaha. Ia menginginkan sistem operasional yang lebih efektif dan efisien. Dibagi per bidang usaha dan wilayah.

Contohnya, kantor cabang Bandung akan dijadikan head office bidang usaha retail dan e-commerce, meliputi wilayah Jawa Barat. Jadi, bila ada pertemuan dan meeting tahunan, tidak perlu semuanya berkumpul di kantor pusat Jakarta, selain menghemat akomodasi, hal tersebut pun akan lebih memfokuskan tiap bidang usaha.

Untuk factory, dipusatkan di Bekasi, perhotelan dan wisata bertempat di Bogor. Itu baru area Jawa Barat, provinsi lain tentu berbeda lagi.

Pihak kontra dengan kebijakan Rei adalah pihak yang Rei ketahui merupakan saudara dari ayahnya, mereka memang tidak menyukai Rei menjadi direktur utama, mengingat usia Rei yang terbilang muda, mereka seakan menganggap remeh.

Karena perdebatan yang alot, akhirnya rapat terpaksa ditunda dan akan dilanjutkan siang ini setelah istirahat.

"Ini nasi kotaknya, Pak," Stefi menyodorkan sebuah kotak berisi nasi beserta lauk pauknya.

"Ah, iya." Rei melirik sejenak, ia sedang fokus membaca e-mail dari Jacob.

Rei tahu bahwa banyak yang tak menyukainya, ia pun menyadari bahwa orang-orang tersebut pasti akan menghalalkan segala cara untuk menjatuhkan dirinya. Jacob sedang menyelidiki perihal keterlibatan pihak kontra dengan kecelakaan ledakan tempo hari.

"Dimakan Pak, satu jam lagi rapat kembali dimulai."

"Kamu kasihin aja ke yang lain, OB misalnya. Saya keluar dulu sebentar, satu jam lagi saya kembali."

"Perlu saya temani, Pak?" tanya Stefi.

"Tidak perlu, Stef. Bukan urusan pekerjaan kok, kamu nikmatin aja waktu istirahat kamu. Saya pergi." Rei mengambil jas dan ponselnya. Pak Ahmad sudah menunggu di basement.

Tidak perlu waktu lama, sepuluh menit kemudian dirinya sudah sampai di rumah sakit.

"Ayana tidur?" tanya Rei begitu memasuki ruang rawat inap.

"Iya, Den, tadi panasnya tinggi lagi, baru aja minum obat, terus tidur," jawab Ana.

"Panasnya tinggi lagi?"

"Iya, Den."

"Ya, udah, kamu makan  siang dulu, sana. Biar saya yang jagain."

"Aden udah makan siang?" tanya Ana.

"Saya sudah beli," jawab Rei sambil menunjukan sebuah plastik berwarna putih.

"Saya pamit, Den."

"Tunggu, Ana." Rei mengeluarkan dompetnya dan mengambil selembar pecahan seratus ribu. "Sekalian beliin Pak Ahmad, ya. Setengah jam ke depan harus udah balik lagi, saya ada rapat penting soalnya."

Ana menerima pemberian Rei. "Makasih, Den."

Rei mengangguk, kemudian ia berjalan mendekati bed Ayana, membuka jasnya dan menyampirkan di kursi samping bed.

Ia mengusap kepala gadis yang terlelap itu, keningnya panas.

"Kenapa malah makin parah sih?" gumam Rei.

Ayana menggeliat.

"Hei," sapa Ayana lirih.

"Gimana keadaan kamu?" tanya Rei.

"Mendingan."

"Jangan bohong! Makanya makan yang banyak."

"Iya."

CLBK (Cinta Lama Belum Kelar)-TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang