Kupikir selalu ada alasan kenapa seseorang mendekati kita, dan sayangnya aku tidak menemukan alasan itu pada dirimu
-Hello and Goodbye-
...
Dalam seumur hidupnya, adakalanya seorang Takumi tidak mengerti dengan apa yang ia perbuat terhadap dirinya sendiri. Yah, seharusnya ia mengucapkan ingin pergi kepada Ayumi dengan baik tapi entah kenapa tubuh ini seolah tidak dapat diprogram, ketika ada perasaan yang meminta untuk bersikap lembut kepada gadis itu malah jalan pikirannya yang menepis begitu kuat.
Tapi bukankah dirinya juga tergolong baik untuk bersikap seperti ini kepada gadis itu?
Tidak peduli, hemat bicara, dan tidak pernah menatap gadis itu secara langsung adalah hal terbaik untuk dirinya begitu juga gadis itu. Memang sekilas dirinya tampak begitu jahat, Ayumi yang selalu saja bersikap baik padanya malah mendapatkan balasan seperti itu. Tapi...
Takumi menunduk, ditatapnya lantai semen di depan pagar sekolah seraya tersenyum sinis. Jika dirinya membalas perasaan gadis itu bahkan bersikap baik sedikit saja maka dirinya akan jauh lebih menyakiti Ayumi lebih dalam lagi. Dirinya hanya dihadapkan dua pilihan yang tidak menguntungkan. Menyakiti atau menyakiti lebih dalam lagi?
Dan semua ini akibat perjodohan itu. Seandainya Ayah dan Ibu tidak melakukannya, mungkin semua akan baik-baik saja.
Ya, berjalan dengan lancar sesuai harapannya.
Bel pulang sekolah berdering setengah jam yang lalu dan sungguh, setengah berdecak Takumi menutup seperempat wajah dengan maskernya lalu memerhatikan lapangan sekolah berulang kali. Sudah tampak sepi dan Taka?
Tidak mugkin bocah itu mengerjainya 'kan?
"Oniisan!"
Mata bundar Takumi membulat, diperhatikannya anak berseragam SMP yang sedang berlari di tengah lapangan dengan pandangan mengancam. Dirinya datang ke sekolah ini hanya ingin tenang dan jika para remaja itu tahu bahwa dirinya datang mungkin akan menjadi sebaliknya.
Suara teriakan histeris penggemar, foto, dan jangan lupa pula dirinya harus menghadapinya hingga acara dadakan layaknya temu fans itu berakhir.
"Gomen, aku terlambat keluar," Taka menunduk, dihentikannya langkah begitu sesampainya di depan gerbang sekolah seraya menyatukan kedua telapak tangan. "Aku harus mengatur kelas ekskul komikku sebentar."
Sebelah alis Takumi terangkat. Menyebalkan, ingin rasanya ia mengutuki, bagaimana bisa dirinya baru tahu kalau anak laki-laki ini membangun kelas ekskul komik? "Jadi, sudah selesai?"
Taka mengangguk, cowok berambut cepak itu memerhatikan sekeliling sekolah. Wajah bodoh. Malas melihatnya, Takumi mengalihkan pandangan seraya meletakkan kedua tangan ke dalam saku celana.
"Oniichan," Kedua mata bundar Taka mengerjap polos disambut oleh si pemilik sorot mata tenang milik Takumi. "Kau tidak mengendarai mobil?"
"Akan lebih mencolok jika aku mengenakan mobil," ucap Takumi datar, diembusnya napas panjang lalu merangkul sebelah bahu adiknya itu dengan tenang. "Kita naik kereta saja."
"Himpit-himpitan lagi," gerutu Taka, menaikkan kacamata seraya melangkahkan kakinya dengan tenang. "Padahal kupikir kita bisa pulang dengan tenang hari ini."
Bletak!
Jitakan mulus berhasil mendarat di kepala cowok berseragam sekolah itu. Takumi melirik tajam, memerhatikan adiknya yang tengah meringis seraya mengusap puncak kepala dengan cepat. "Setidaknya hargai aku yang sudah menjemputmu di sini."
"Baiklah baiklah," Setengah menggerutu terpaksa Taka mengucapkan, langkah kedua cowok itu terhenti sejenak lalu menaiki salah satu transportasi yang kini telah terhenti. Ya, kereta dan benar dugaan si menyebalkan Taka, bukannya tenang malah lagi-lagi harus berhimpitan.
"Oniisan," Kereta berjalan, Takumi yang tengah berdiri seraya memegang pegangan yang bergantung di dalam kereta hanya melirik kiri sekilas. Masker putih yang sedari tadi dikenakan tidak juga dilepas begitu juga dengan topi yang menyelimuti kepalanya. Taka dengan tinggi seleher Takumi itu terpaksa sedikit mendongak. "Apa kau baik-baik saja hidup dengan Ayumi-san?"
"Menurutmu?" tanya Takumi datar, tanpa sedikitpun mengalihkan pandangan dan menatap pemandangan luar yang berlalu lalang dengan cepat. Ya, seperti mengejapkan mata, akan terbuka lalu tertutup tanpa sadar.
"Pasti baik-baik saja," Kedua sudut bibir Taka terangkat, pemilik mata bundar itu mengalihkan pandangan begitu melihat langit senja yang tengah menyelimuti langit kota. Terlihat begitu tenang, sunyi, dan indah. "Yah meskipun cerewet tapi dia penuh perhatian, kadang aku benci melihat sikap polosnya tapi dengan sikap polos itu berhasil membuatku puas ketika menjailinya."
Tidak ada jawaban dari Takumi, laki-laki itu menunduk sejenak, membenarkan letak maskernya. Taka tertawa pelan. "Dia pandai memasak sama sepertimu. Ah ya, dia juga menyukai komik sepertiku! Satu lagi..." Mata Taka membulat, cowok itu mulai berbicara antusias dan mulai menunjukkan sifat sebenarnya. Bukan Taka yang tertutup seperti orang lain kira. "Heran, dia tidak seperti okaasan yang melarangku membuat komik-komik itu."
"Onii pasti menyayanginya dan melindunginya kan? Kalau aku jadi dirimu mungkin aku juga tidak akan melepaskan gadis seperti itu," Kedua mata bundar Taka menyipit senang, tubuh itu sedikit limbung ke kanan begitu kereta memperlambat pergerakannya. Takumi menunduk, melirik adik satu-satunya itu begitu merasakan lengannya digoyang dengan cepat. "Terimakasih, aku senang mempunyai kakak perempuan sepertinya."
Diam-diam Takumi tersenyum sinis, meskipun tidak tampak oleh Taka namun dirinya yakin anak laki-laki itu bisa membaca sorot matanya. Lihatnya alis tebal anak kecil itu terangkat, seolah menyadari hasil dari tebakannya. Salah? Ya, sangat. "Apa yang terjadi jika aku mengatakan sebaliknya?"
"Hah?"
Takumi mengalihkan pandangan ke arah luar kembali. Suasana kereta benar-benar hening, seperti biasa dengan para penghuni yang sibuk melakukan kegiatan masing-masing dan dengan hal itu pulalah harus menghargai privasi masing-masing. "Aku tidak tahu apa dia berpura-pura atau tidak, tapi untuk sementara ini dia memang baik, seperti apa kau katakan."
"Ya?"
Takumi menunduk kembali, memerhatikan mata polos Taka dengan menekankan. Mungkin tidak seharusnya ia memberitahu hal ini tapi entah mengapa tubuhnya seperti tidak tahu diri sekarang, meracuni pikiran polos itu dengan pikiran bodohnya ini. "Tapi karena dia seperti itu aku merasa tidak baik-baik saja. Aku harus menyakitinya."
Taka menahan napas, tampak jelas anak kecil itu tengah menelan ludah seakan hancur dengan harapan yang dibangunnya. "Kenapa? Bukannya onii yang kukenal itu..."
Sebelah tangan Takumi terulur, menurunkan maskernya sedikit lalu tersenyum sinis. "Karena menjadi dewasa itu jauh lebih rumit dari yang kau bayangkan."
Drrtt...
Belum sempat Taka bertanya lagi. Suara getaran hp terdengar, Takumi mengalihkan pandangan, meraih alat komunikasi itu dari saku celananya sejenak lalu membuka kunci layar. Wallpaper hitam tertera dengan kotak pesan berwarna biru yang belum saja terbuka. Tanpa sadar, dahi Takumi mengernyit. Masaki?
Masaki
Aku ada di depan rumahmu >.<
"Oniisan? Doshite?"
Takumi menahan napas, dikuncinya kembali layar hp lalu meletakkan di saku celana. Tampak wajah yang sedari tadi dipaparkan cahaya senja itu kini terlihat pucat. Takumi menelan ludah, perlahan memerhatikan mata polos Taka yang melihatnya penasaran meskipun tidak dapat dipungkiri ia juga melihat sorot mata kecewa sekaligus marah yang disimpan oleh anak kecil itu dalam-dalam.
"Masaki ke rumah dan aku baru saja membohongi Ayumi."
___
Thank's for reading. I hope you enjoy it.
Next : Update tiap hari jumat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello and Goodbye [J-Lit]
Romans(COMPLETE) "Karena pada nyatanya mengucapkan 'selamat tinggal' tidaklah semudah mengucapkan 'halo' ___ Satu hal yang tidak pernah terpikirkan oleh seorang Ayumi dalam hidupnya adalah menikah dengan Takumi Aoki. Takumi yang pendiam, terlihat tenang...