Jika ada yang bertanya hal apa yang paling kubenci di dunia ini adalah ketika aku mencoba membandingkan diriku dengan orang lain. Dan bodohnya...
Bagaimana bisa aku membandingkan diriku dengan karakter fiksi?
-Hello and Goodbye-
...
Kyaa!!
Suara para remaja khususnya kau hawa tidak dapat lagi dihindarkan. Wajah girang, teriakan histeris dan tidak percaya kini benar-benar tidak dapat lagi dihilangkan dari hadapan Takumi. Perlahan cowok dengan seragam SMA-nya itu menelan ludah, berusaha mungkin dirinya tersenyum seraya menandatangani foto-foto yang disosdorkan oleh para gadis tersebut.
"Yosh! Hahaha..."
Dan mungkin di antara dirinya ada yang lebih senang menikmati suasana seperti ini.
"Kau baik-baik saja Takumi?"
Takumi menegakkan kepala, dengan rambut yang telah dibasahi keringat begitu juga dengan seragam berusaha mungkin memerhatikan Ryuji dan Masaki yang tidak jauh berdiri di lapangan bersamanya. Kedua orang itu tersenyum seraya menandatangani foto-foto yang disodori oleh para gadis. Entah itu benar-benar senyum ataukah tidak yang pasti Takumi tidak mengerti bagaimana bisa kedua orang itu nyaman dalam kondisi seperti ini.
Tidak dapat bergerak bebas, dirinya harus menjaga citra yang begitu baik tanpa ada satupun noda hitam yang dapat merusak reputasi dan banyak lagi hal yang membuatnya merasa terbatasi.
Takumi mengangguk pelan, lalu kembali kepada kerumunan gadis yang masih mengelilinginya. Wajar, berusaha mungkin Takumi menenangkan diri, kegiatan band maupun syuting berhasil menyita waktunya di sekolah, belum lagi di tempat ini mungkin seluruh orang sudah jelas mengenanlnya hanya saja belum ia temukan seorangpun yang tulus berteman dengannya.
Ya, kecuali Masaki dan Ryuji yang tengah sibuk dengan penggemar di ujung sana. Sisa yang lain? Berapa kalipun Takumi berharap, tetap saja makhluk-makhluk itu hanya berteman untuk menjadi terkenal.
"Selesai," gumam Takumi menandatangani foto terakhir. Dikembalikan foto tersebut kepada pemilik lalu melangkah cepat keluar dari lapangan. Ya, sebelum ada seseorang yang lagi-agi mengejarnya, entah itu meminta tanda tangan atau pura-pura mendekatinya dengan akrab agar tekena imbas terkenal sepertinya.
Takumi berbelok. Mendadak pemilik sandal karet berwarna hitam tersebut menghentikan langkah begitu memerhatikan pintu dengan tulisan 'ruang musik' di hadapannya. Bagus, tak ingin menyia-nyiakan waktu digesernya pintu lalu melangkah masuk.
Dan nihil.
Takumi menggigit bawah bibir, berusaha mungkin untuk tidak meringis. Dikepalnya kedua tangan dengan erat dan tak lupa pula memasukkannya ke dalam saku celana. Menyebalkan, padahal ia berharap di ruang ini dirinya dapat menyendiri sejenak. Ya, mengosongkan pikiran begitu juga energy yang terkuras habis akibat berkumpul dengan banyak orang. Tapi faktanya...
Takumi tersenyum tipis, memerhatikan seseorang yang tengah duduk di bangku piano sana. Nihil, ada seorang gadis di ruangan ini. Heran, bukannya untuk bermain salah satu alat musik yang berada di ruangan ini melainkan hanya membaca buku tulis yang diletakkannya pada tuts piano.
Apa mungkin ruang musik kini telah memiliki fungsi yang serupa seperti perpustakaan? Untuk membaca buku bukan?
Hening, tidak ada suara baik dari Takumi maupun gadis yang berada di ruangan musik. Gadis dengan rambut sepinggangnya itu masih saja menatapi tulisan yang berada di buku tulis tersebut dan untuk pertama kalinya Takumi merasa beruntung, gadis itu tidak menyadari kehadirannya bahkan ketika ia mendekat dan membaca tulisan itu diam-diam.
Jika ada hal yang kutakutkan di dunia ini maka itu adalah diriku sendiri.
Aku berteman, membenci, dan mencintai diriku sendiri. Gila memang, tapi hanya itu yang bisa kulihat sekarang. Miris rasanya ketika aku mulai menutup hati untuk orang lain. Menyakitkan? Sangat, rasanya seperti ada seekor monster yang mencakar bagian organ tubuhku, ngilu, sesak, dan ingin menangis namun tidak bisa menangis.
Aku ketakutan.
Sangat ketakutan.
Di dalam sana aku berteriak, dengan miris meminta pertolongan.
"Ini tulisanmu?" Refleks, Takumi bertanya, ditahannya napas begitu merasakan sesak di bagian dada. Aneh, Takumi tidak mengerti sensasi semacam ini, bagaimana bisa hanya dengan tulisan beberapa paragraf dirinya seolah-olah mengerti apa yang dirasakan si penulis ini? Oh ayolah, jangan jadi orang sok tahu Takumi!
Gadis bermata bulat itu sontak menoleh ke sumber suara. Dapat Takumi lihat gadis itu tersentak seraya mencengkram sampul buku itu dengan erat, sedikit termundur belakang.
Kedua alis Takumi terangkat. "Kenapa?" Nihil, sungguh berbeda dengan gadis di luar sana. Jika orang-orang itu terus mengejar dan membuntutinya tanpa ampun maka entah kenapa gadis ini seperti ingin bersembunyi darinya. Takumi tertawa pelan, tanpa suara. "Tidak ada yang perlu ditakutkan."
Hening kembali, masih saja Takumi mengamati. Kini anak perempuan itu menunduk, masih saja mencengkram sampul buku dan untunglah bahu yang tampak tegang kini perlahan turun dan tenang.
Merasa gadis itu mulai bisa menerima keadaan, Takumi tersenyum simpul, kembali berbicara. "Aku suka tulisan itu, apa kau yang menulisnya?"
Gadis itu mengangguk pelan, terlihat begitu canggung dan kikuk.
Takumi tertawa kembali, mencondongkan tubuh seraya membaca tulisan tersebut dengan tekun. "Aneh," komentar Takumi seraya mendarartkan tubuh, duduk di bangku piano tepat di samping gadis itu. "Tapi sepertinya aku sedikit mengerti perasaanmu. Apalagi di kalimat ini."
Jari telunjuk Takumi terulur, tepat pada bagian di halaman terakhir buku. Ya, tulisan yang masih setengah dan belum dilanjutkan oleh pemiliknya.
Tidak banyak, hanya satu hal kecil yang begitu sederhana.
Ya, dengan sebuah ketulusan kita dapat menghidupkan hati seseorang.
"Keren," Takumi tersenyum samar, diperhatikan tulisan itu sejenak lalu mengalihkan pandangan pada gadis di sampingnya. Gadis yang sungguh berbeda di luar sana, terlihat begitu polos dan lugu dengan mata bulatnya. Gadis yang tidak memiliki teman dan cenderung merasa kesepian.
Tanpa sadar, Takumi mengulurkan sebelah tangan, berhasil membuat gadis itu mengernyit heran. "Mau berteman denganku?"
"Yosh Takumi! Kau melamun lagi!"
Takumi tersentak, mendadak suara ringisan terdengar dari laki-laki berusia dua puluh tahunan itu seraya mengusap bahu. Menyebalkan, perlahan mata bundar itu melirik sinis, memerhatikan Masaki begitu juga Ryuji yang kini menyandang tas gitar lalu merangkul bahunya dengan erat.
Usai sudah konser hari ini dan jangan lupa pula akan selalu ada konser di hari-hari selanjutnya yang tidak kunjung habis.
"Kau ikut ke supermarket?" tanya Ryuji mengangkat kedua alis, seraya tersenyum miring. Tidak ada jawaban, Takumi hanya melirik arah kiri lalu mengernyit.
Kini suara embusan napas panjang terdengar dari arah kanan Takumi. Masaki, cowok dengan topi bundar kecil hitamnya itu menunduk sejenak lalu memerhatikan salah satu sahabatnya dengan pasrah. "Amerika, besok kita ada tur ke sana."
"Ah ya," jawab Takumi akhirnya, pemilik suara bass lembut itu tertawa datar seraya mengencangkan tali tas gitar yang berada disandangnnya. "Aku hampir lupa."
"Pelupa," gerutu Masaki, cowok itu melangkah masuk dalam mobil bersamaan dengan Ryuji di bangku depan. Diam-diam Takumi yang berada di bangku belakang kini tertawa pelan, memerhatikan pantulan wajah sahabatnya itu melalui kaca atas. Tidak apa, batinnya berusaha menenangkan. Meskipun gadis dilamunannya itu entah pergi kemana tapi ia masih memiliki dua sahabat ini bukan?
Ya, dua orang yang tidak akan meninggalkannya.
Dan Takumi berharap hal itu bukan hanya berada di dunia khayalannya saja.
---
Thank's for reading. I hope you enjoy it!
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello and Goodbye [J-Lit]
Romance(COMPLETE) "Karena pada nyatanya mengucapkan 'selamat tinggal' tidaklah semudah mengucapkan 'halo' ___ Satu hal yang tidak pernah terpikirkan oleh seorang Ayumi dalam hidupnya adalah menikah dengan Takumi Aoki. Takumi yang pendiam, terlihat tenang...