Hidup itu keras, jadi jangan pernah lunak karenanya.
-Hello and Goodbye-
...
Hidup itu keras dan karena itu kita harus menjadi keras terhadap diri kita. Memang terkadang ada rasa ingin menyerah, bahkan untuk melanjutkan hidup saja terasa enggan. Tapi jika di pikirkan kembali bukankah hidup itu indah?
Ya, setiap hal yang membat kita tersakiti sebenarnya memberikan pelajaran yang begitu berarti. Tanpa meminta balasan dan berlalu begitu cepat dengan hanya meninggalkan kenangan.
Suara rebusan air, pisau yang menyentuh telenan begitu juga keran air westafel yang terbuka terdengar dari ruangan kecil di samping ruang tengah. Dari sana tampak kedua sudut bibir Ayumi terangkat seraya menoleh belakang begitu memerhatikan pintu kamar mandi terbuka.
Reina. Gadis dengan kaos biru muda itu tampak segar, dengan handuk yang masih menyelimuti puncak kepalanya ia menyengir lalu berjalan menghampiri Ayumi yang mengenakan celemek berwarna kecokelatannya.
"Sini kubantu ikat," tawar Reina mengikat tali celemek yang berada di bagian punggung Ayumi. "Nah sudah selesai."
"Makasih Reina-chan," jawab Ayumi, menyipitkan mata dengan senang.
Reina mengangguk, kedua tangan itu menumpu pada salah satu sisi westafel seraya memerhatikan Ayumi yang tengah mencuci sayuran. "Aku baru tahu kalau kau tinggal di sini. Bagaimana bisa?"
"Hm?" Kedua alis Ayumi terangkat, bibir kecil itu melengkung ke atas masih saja menunduk, berkutat dengan bahan masakannya. Ah ya, Ayumi selalu seperti itu, sedari dulu. "Takdir mungkin?" ucap Ayumi mengangkat kedua bahu.
"Hah?" Sebelah sudut bibir Reina terangkat heran, pemilik wajah yang bisa digolongkan tampak imut itu kini memiringkan kepala ke arah kanan. "Takdir bagaimana? Mustahil setelah lulus sekolah kau memutuskan untuk bekerja menjadi pembantu di sini."
Ayumi menoleh, lalu menggeleng, tertawa pelan. Canggung, ingin rasanya Ayumi mengatakan. Ya, meskipun Reina adalah sahabat terbaiknya sedari kecil tapi kenapa disaat seperti ini dirinya begitu canggung? Seperti entahlah, ada jarak yang begitu jauh dan seperti dua orang asing yang memaksakan diri untuk menjadi dekat kembali. "Tidak, bukan takdir seperti itu."
"Untunglah," Reina mengembus napas panjang, suara televisi dari ruang tengah kini semakin dikeraskan. Kedua alis Ayumi terangkat begitu juga Reina yang mengintip ruang tengah dari ambang pintu dapur. Rin Aoki, cewek dengan kaos kebesaran warna hitam milik Takumi itu kini sedang menatap layar televisi dengan serius. Masih marah mungkin?
Reina menoleh belakang kembali, berdiri di samping Ayumi. "Aku pikir kau putus asa dan karena Takumi satu-satunya penyelamat hidupmu, kau berusaha melakukan segala cara agar bisa hidup dengannya."
Sekali lagi, Ayumi tertawa pelan, dimasukkannya potongan daging ke dalam panci begitu rebusan air telah mendidih. "Meskipun aku selalu menggemarinya, aku bukan orang seperti itu."
Mulut Reina membulat, lalu mengangguk paham. "Baiklah baiklah. Tapi bagaimana bisa kau berada di sini? Nama belakang keluargamu Fujita, bahkan kau tidak pernah satu sekolah dengan Takumi ataupun keluarganya. Ah! Jangan-jangan!" Mata Reina membulat seketika, gadis itu menutup mulut dengan tidak percaya lalu mencengkram ujung rambut panjangnya yang setengah mengering dengan kuat. "Kau istrinya ya! Takumi sudah menikah bukan?!"
Ayumi tertawa, deretan gigi putih itu terlihat jelas begitu menyengir.
"Ah! Jadi benar! Kau benar istri Takumi!" tanya Reina, semangat. Berhasil membuat Ayumi menelah ludah lalu melepaskan sendok kayu dari tangannya begitu Reina berjalan maju ke arahnya. Ayumi mundur belakang, nihil, dirinya tidak bisa bergerak begitu membentur sudut lemari dapur. "Kau orang yang digosipkan menikah karena..."
Brakk!
Suara pintu kulkas digebrak dengan kuat. Bukan Reina yang melakukan terlebih lagi Ayumi yang selalu tampak dengan sisi feminimnya, tapi Rin. Ya, cewek dengan dandanannya yang tampak berbalik dengan semalam kini membuka tutup minuman soda seraya mengerlingkan pandangan ke arah Reina dengan tajam. "Saudara gilaku tidak mungkin melakukan hal seperti itu," umpat Rin, membiarkan rambut ikalnya tergerai berantakkan seraya meneguk minuman bersoda itu dengan cepat. "Dia tidak pernah menyentuh bahkan menatap gadis manapun setelah diputuskan oleh orang yang jauh lebih gila sepertimu."
"Putus?" gumam Ayumi, mengernyit. Ditolehkannya kepala setelah memerhatikan Reina yang tampak menahan napas. "Apa hubungannya dengan Reina?"
"Mantan," jawab Rin lantang. Bola mata itu terangkat ke atas lalu ke bawah memerhatikan Reina dengan pandangan setengah meremehkan. Perlahan sebelah sudut bibir Rin terangkat lalu memerhatikan Ayumi dengan pandangan polosnya. "Sekalipun orang ini satu-satunya sahabatmu, aku harap kau menjauh darinya ketika menjadi bagian keluarga Aoki."
"K-kau!" Mata Reina membulat, secepat mungkin Ayumi memegang lengan jenjang itu dengan kuat seolah meminta untuk menahan diri agar tidak terjadi keributan.
"Kenapa?" tanya Ayumi mengangkat kedua alis, sekilas wajah oval itu tampak terkejut namun berusaha mungkin dibuat untuk tenang.
Botol soda dilempar ke tong sampah dengan kuat. Diambilnya sepotong semangka di meja dapur sebelum kembali menuju ruang tengah. "Dia terlalu bahaya untuk orang sepertimu."
_____
Thanks for reading. I hope you enjoy it! ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello and Goodbye [J-Lit]
عاطفية(COMPLETE) "Karena pada nyatanya mengucapkan 'selamat tinggal' tidaklah semudah mengucapkan 'halo' ___ Satu hal yang tidak pernah terpikirkan oleh seorang Ayumi dalam hidupnya adalah menikah dengan Takumi Aoki. Takumi yang pendiam, terlihat tenang...
![Hello and Goodbye [J-Lit]](https://img.wattpad.com/cover/186757169-64-k255708.jpg)