Katanya, cinta itu dapat membutakan logika, tapi jika tanpa logika bukankah manusia akan hancur dimakan oleh cinta?
-Hello and Goodbye-
...
Seperti hidup biasanya, maka cinta selalu menyuguhkan dua pilihan yang berbeda. Mencinta atau dicintai, meninggal atau ditinggalkan dan yang parah disaat seseorang berpikir mengkhianati atau dikhianati?
Perlahan kedua sudut bibir Takumi terangkat. Cowok dengan seragam rumah sakit biru mudanya itu masih saja tersenyum senang memerhatikan sampingnya.
Entah menyenangkan atau tidak, yang pasti bagi Takumi waktu seperti ini harus ia manfaatkan sebaik mungkin. Ya, selagi gadis itu masih tertidur, dirinya bisa memandangnya dengan puas.
Takumi menyengir, mendadak saja dirinya tertawa pelan begitu mencubi pipi itu dengan gemas. Ayumi mengerang, dan untunglah, Takumi menghela napas lega, gadis itu kembali tertidur.
Kriieett...
Pintu dibuka perlahan, Takumi yang sedang berbaring, sedikit menegakkan tubuh begitu seserang masuk ke dalam ruang istirahatnya. Rin, Gadis dengan rambut dikucir satu itu melepaskan sepatu heels merahnya lalu meletakkan di pinggir dinding. "Lain kali jika sakit jangan digunakan, kau ini aneh sekali."
"Apa beda denganmu?" balas Rin menuntut, gadis itu mengusap pergelangan kakinya yang memerah, lalu berdiri di samping Takumi. "Jika sakit jangan ditahan. Tidak semua orang mengerti dengan kondisimu. Jadi siapa yang mengambil hasil pemeriksaanmu?"
"Ryuji," jawab Takumi singkat. Tak lama tersenyum seraya menyingkirkan poni yang terjatuh menutupi wajah Ayumi dengan lembut. Rin yang melihat pemandangan itu perlahan tersenyum lembut.
Takumi selalu berbeda dengan apa yang ada diucapan itu sendiri, Takumi begitu sulit ditebak baik itu jalan pikiran maupun perasaannya. "Maaf, menamparmu waktu itu. Aku tidak tahu kau sedang kesakitan juga sebenarnya."
"Tidak masalah," Takumi mengembus napas panjang, wajah bundar itu mengalihkan pandangan dengan tatapan meremehkan. "Lagipula mulai sejak kapan kau meminta maaf denganku hm? Bahkan waktu kecil, ketika kau sering melempariku dengan bola saja tidak merasa bersalah."
"Bodoh," umpat Rin, mengembungkan pipi. Berhasil membuat Takumi menyengir. "Berhenti membahasnya lagi, orangtuamu sudah menunggu di luar sedari tadi."
"Orangtuaku?" Takumi mengernyit, sedikit menegakkan tubuh. "Taka?"
"Ah ya," Kedua alis Rin terangkat, menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Mereka juga membawanya."
Takumi berdecak, setengah mengutuki diri. Ayolah, meskipun sulit untuk mengakui tapi dirinya benar-benar malas bila Taka melihatnya daam keadaan seperti ini.
Ya, adik kecilnya itu, meskipun menyebalkan, hatinya tidak jauh beda dengan Ayumi. Terlalu tulus dan percayalah Takumi sediri tidak akan mampu berhadapan dengan dua orang seperti itu sekaligus. "Nanti bisa tolong jauhkan aku dari Ayumi dan Taka? Aku butuh privasi untuk bicara dengan mereka."
Rin mengangguk, mengiyakan.
____
Dan benar, mungkin menyendiri adalah hal terbaik yang pernah ada, hanya saja kesendirian akan terasa menyakitkan bila ditemani rasa sepi yang begitu sangat. Ya berteman dengan segala kenangan yang tak ingin diungkit kembali.
Takumi mengembus napas panjang, dengan mata setengah mengantuk Ayumi sudah dibawa keluar begitu juga dengan Taka yang baru saja sampai di ambang pintu ruangannya. Sudah mulai malam, harusnya Taka dibiarkan saja di rumah untuk beristirahat.
"Berhenti menyiksaku lagi, aku lelah dengan semuanya mengerti?" ucap Takumi gusar. Dua sudut bibir yang biasanya menurun itu kini semakin begitu jelas ketika kesal.
Ah, bukan hanya kesal, tapi segala rasa sesak dan menyakitkan juga terus-terusan menumpu di dadanya. Abaikan segala memori menyakitkan disaat kecil dan sekarang hal itu diperparah dengan adanya kehadiran Ayumi.
Mata bundar Takumi menerawang, perlahan dicengkramnya sisi selimut di tubuhnya seraya memerhatikan kedua orang yang duduk di samping tempat tidurnya. Selang infus sedikit bergoyang begitu Takumi semakin mempererat cengkraman. "Menjadi artis, mengikuti jejak kalian benar-benar sudah membuatku tersakiti. Aku tidak bisa bebas seperti orang lainnya, begitu banyak aturan dan..."
Takumi menelan ludah, memerhatikan raut wajah bingung dari dua orangtua itu sekarang. Terserah, dirinya tidak peduli, meskipun sudah dewasa dirinya sendiri menyadari belum dapat menjadi dewasa seutuhnya. Ya, masih kekanak-kanakan, larut dalam masa lalu, menuntut ini itu meskipun pada nyatanya tidak ada gunanya untuk menuntut.
"Dalam hidupku..." Takumi menahan napas, tanpa bisa ditahan dirinya mulai merasakan seperti ada cairan yang berhasil menghalangi pandangannya. Menyebalkan. "Aku tidak pernah mengetahui bahkan mengerti mana orang yang mencintaiku dengan tulus dan sebaliknya. Aku menutup diri dan merasa itu jauh lebih baik."
Kini tampak raut wajah kedua orang itu tersenyum tipis. Takumi berdecak, memukul tempat tidur dengan kesal lalu mengalihkan pandangan.
"Dan disaat aku mulai nyaman dengan kesendirianku kenapa..." tanya Takumi setengah menuntut, tampak dada itu naik turun dengan cepat begitu merasakan sesak di bagian sana. "Kenapa kalian mengenalkanku pada Ayumi?"
Pria paruh baya dengan jaket cokelat di tubuhnya itu berdehem, diikuti dengan istrinya yang menunduk. Entah apa yang ada di pikiran okaasan sekarang sungguh Takumi tidak peduli. "Memang apa ada yang salah dengan Ayumi?"
"Tentu saja salah," jawab Takumi, menggertak gigi. Untuk pertama kalinya entah mengapa dirinya berani berbicara seperti ini. Berbicara begitu panjang tanpa takut dihakimi terlebih lagi takut menyakiti.
Bukan seperti Takumi yang dulu, diam, dan memendam masalah yang hingga sekarang menjadi tidak pernah terselesaikan. "Kalian tahu bagaimana kondisiku. Akan jauh lebih baik bila aku hidup sendirian dibandingkan mencintai seseorang, semuanya hanya menjadi masalah, membuatku kebingungan."
Tanpa jawaban, kedua orang itu saling bertatapan heran.
"Diwaktu yang singkat ini aku bingung harus mencintainya ataukah tidak, ini semakin menyakitkan dan benar-benar..." Untuk kesekian kali, Takumi menendang selimut dengan kesal dan percayalah dirinya benar-benar merasa terbuang sekarang.
Ya, setelah mengetahui garis hidupnya seperti apa, kedua orang ini seakan-akan melimpahkan seluruh tanggungjawabnya pada Ayumi yang tidak bersalah.
Pernikahan? Ya, pernikahan yang tidak memiliki arti tulus sesungguhnya.
"Ikuti saja kata hatimu, Takumi," Suara lembut seseorang kini terdengar, okaasan, bahkan dalam seumur hidupnya baru kali inilah ia mendengar perempuan paruh baya itu berbicara panjang selain menyangkut hal pekerjaannya. "Seperti apapun di masa depan nanti. Ayumi tetap bagian keluarga ini dan sekalipun kalian memiliki anak, kami akan menjaganya, Takumi."
"Tidak," Takumi menggeleng pelan. Dengan samar-samar perlahan mata bundar sayu itu terpejam seolah telah termakan efek salah satu obat yang tadi diteguknya. Seperti apapun alasannya, bagaimanapun kondisinya, dirinya seorang Takumi Aoki tidak akan pernah mengerti arti kata cinta dan tulus yang sesungguhnya.
___
Thanks for reading! I hope you enjoy it!
Update : 12.05.2020

KAMU SEDANG MEMBACA
Hello and Goodbye [J-Lit]
Romansa(COMPLETE) "Karena pada nyatanya mengucapkan 'selamat tinggal' tidaklah semudah mengucapkan 'halo' ___ Satu hal yang tidak pernah terpikirkan oleh seorang Ayumi dalam hidupnya adalah menikah dengan Takumi Aoki. Takumi yang pendiam, terlihat tenang...