HELLO AND GOODBYE 13

122 17 1
                                    

Rasa seperti apa ini? Menyebalkan sekali. Bukankah aku tidak memedulikannya? Ah, bahkan lebih bagus bila ia pergi, tapi kenapa?

Kenapa ada rasa sesak yang tak terkira bila membayangkan ia pergi?

-Hello and Goodbye-

...

Hidup di dalam tubuh orang dewasa itu rumit. Ya, serumit hidup, seperti benang kusut yang begitu sulit untuk divenarkan kembali. Terlebih lagi begitu banyak kenangan yang menghantui dan membuat seseorang menjadi takut tersakiti kembali.

Ah, mungkin bukan hanya hidup. Tapi begitu juga dengan pikirannya. Sulit dimengerti, dimana logika terus berperang pada hati dan tidak tahu mana yang harus ditepati.

"Hhh..." Takumi, laki-laki berusia dua puluh tahunan itu menarik napas terengah, dicucinya wajah di westafel toilet sejenak lalu memerhatikan pantulan wajah bundar yang tercermin dari kaca di hadapannya.

Pucat, lelah, dan menyedihkan.

Dan Takumi yakin, mungkin orang awam yang melihatnya pasti akan mengatakan tenang, dirinya begitu tenang dalam keadaan apa saja. Ya, dirinya memang hebat dalam berpura-pura.

"Tidak sopan meninggalkan begitu saja ketika makan."

Merasa ada suara asing, sontak Takumi menoleh. Ryuji, cowok dengan jaket hitam itu tersenyum menyeringai, melangkah masuk ke koridor toilet setelah berapa menit berdiri di ambang pintu masuk.

Keran dibuka, Takumi tersenyum samar, menunduk seraya menampung derasan air itu dengan kedua telapak tangannya. "Maaf, aku tidak bisa menahan lagi untuk tidak kesini."

"Bodoh," umpat Ryuji, cowok yang tadi melakukan kegiatan yang sama dengan Takumi kini mulai membasahi wajah itu dengan air yabgvtertampung di telapak tangannya. Sekedar memberi efek segar setelah melakukan kegiatan lebih dari setengah hari.

"Kau itu ke sini memang karena sakit atau karena cemburu melihat Ayumi bersama Masaki?"

Hening. Takumi yang mendengarnya, refleks saja menoleh ke arah Ryuji sejenak lalu mengalihkan pandangan memerhatikan pantulan kaca lalu mrmbasahi wajah.

Tidak tahu. Ingin rasanya Takumi menjawab seperti itu. Dirinya benar-benar tidak tahu sekarang. Tadi ada rasa sakit baru yang menyelimuti dadanya, seperti sesak, mau tidak mau menelan ludah dan jujur saja rasanya seperti ada rasa takut kehilangan?

Bodoh, Takumi menunduk, tersenyum sinis. Mana mungkin gara-gara Ayumi. Bahkan dirinya belum kenal lama dengan gadis itu. Gadis berisik dengan hati yang begitu lembut, gadis yang penuh perhatian dan mudah tersentuh dengan hal kecil. Setidaknya hanya itu yang bisa Takumi simpulkan saat ini.

Lagipula bukankah dirinya jarang melirik Ayumi? Jarang-bahkan sepertinya ia tidak pernah menatap wajah gadis itu secara langsung setelah pesta pernikahan. Paling-paling hanya punggung gadis kecil itu yang sedang memasak.

Tidak. Mana mungkin seseorang bisa jatuh cinta melalui hal seperti itu? Konyol sekali.

"Kurasa karena pilihan pertama," ucap Takumi datar, kembali mencuci wajah lalu memerhatikan bayangan dirinya.

Ya, mungkin lebih tepat pilihan pertama. Rasa sesak itu juga bisa digolongkan rasa sakit bukan?

"Pilihan kedua juga tidak apa," ucap Ryuji tersenyum simpul, lalu memukul sebelah bahu Takumi dengan pelan berhasil membuat tubuh cowok berwajah bundar itu sedikit ke kanan. Takumi mendesis, mata itu seolah mengatakan. Berhentilah-menggangguku-Ryuji.

"Tidak mungkin," jawab Takumi menekankan, berjalan ke samping beberap langkah, memberi ruang agar Ryuji menyebalkan itu tidak lagi mengganggunya.

"Berhenti menutup hati seperti itu Bodoh," Air di telapak tangan dicipratkan ke arah Takumi, berhasil membuat cowok itu memejamkan mata begitu terkena buliran air tersebut.

"Berhentilah Ryuji! Biarkan aku tenang mengerti!" desis Takumi berusaha menghindar. Untunglah tidak ada kamera di dalam sini dan berharap saja tidak ada seorangpun penguntit yang diam-diam duduk di salah satu toilet sedari tadi.

"Dia tulus padamu," Ryuji tertawa pelan, menaikkan jari telunjuk dan tengah secara bersamaan pertanda damai. "Jangan sia-siakan orang seperti itu, atau kau akan menyesal."

"Akan jauh lebih menyesal jika aku memertahankan orang seperti itu dalam hidupku," ucap Takumi menekankan, sebelah sudut bibir itu terangkat sinis lalu mmerhatikan pantulan wajah Ryuji yang tampak heran dari kaca.

"Seperti yang kau bilang sekilas dia tulus-aku mengatakan seperti ini karena tidak tahu apa dia benar-benar tulus atau tidak-, dia itu polos, dan mudah menangis juga," ucap Takumi menunduk, tersenyum tipis, memerhatikan memerhatikan westafel putih yang masih saja terlihat basah.

"Sekilas dia terlihat lemah, tapi kau tahu? Dia itu keras kepala, selalu mengejarku, selalu menghadapi masalah bukan menghindari masalah sepertiku," gumam Takumi pada kalimat terakhir. "Siapapun orang pasti akan menyukainya."

Ryuji mengangguk, melipatkan kedua tangan ke dada dengan senang. Mungkin dalam hati, cowok itu berkata 'sudah kubilang juga apa, kau sedang cemburu Takumi!'

"Dan sayangnya dia harus berpasangan dengan orang sepertiku," Takumi tertawa datar, memerhatikan Ryuji dengan sebelah alis terangkat seolah berusaha mungkin meruntuhkan kebahagiaan Ryuji yang datang sekilas. "Aku tidak bisa membahagiakannya."

Ryuji terdiam seketika, tampak menahan napas, menghadapi kalimat dari suara bass lembut Takumi dengan seksama.

"Berkenalan dengan orang sepertiku tidak jauh beda berdekatan dengan bom waktu. Seberapa lama aku hidup pasti suatu saat nanti akan meledak. Jika aku membalas perhatiannya sama saja aku akan menyakitinya..."

Ryuji memasang wajah serius. "Tapi kalau kau terus-terusan bersikap seperti ini kau juga akan menyakitinya."

"Ah benar," Takumi tertawa renyah, lalu menepuk bahu Ryuji seraya berjalan keluar dari koridor toilet dan jangan lupa pula, masker putih dan kacamata sebagai penyamaran itu sepertinya barang wajib untuk dikenakan. "Jadi, bagaimana kalau kita terus memerhatikannya sampai akhir?"

Langkah Ryuji terhenti seketika. Berhasil membuat Takumi yang berjalan dua atau tiga langkah dibanding Ryuji kini terhenti, menoleh belakang. "Mustahil kalau kau ingin ending yang berakhir dengan perceraian 'kan?"

Sebelah bibir Takumi terangkat, kembali menepuk bahu Ryuji lalu merangkul salah satu sahabat yang selalu ia anggap seperti abang itu.

"Kau selalu pintar dalam menebak, Ryuji."

___

Hello and Goodbye [J-Lit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang