Entah mengapa 24 jam rasanya berlalu begitu cepat bagi Tiffany. Dan dalam 24 jam yang ia lalui, tak sedetikpun hal istimewa yang membuat semangatnya kembali hadir seperti dulu saat..
Ah, memangnya sejak kapan ia memiliki semangat? Sejak adanya Ryan,eh? Bahkan pria itu pergi meninggalkannya juga pada akhirnya.
Dan untuk Jean, apakah pria itu akan berakhir sama dengan Ryan juga nanti? Setidaknya itulah yang masih tersimpan dalam benak Tiffany hingga sekarang tatkala ia seharusnya telah menyelesaikan deretan baris demi baris pertanyaan di sebuah kertas tempat tangannya bersandar saat ini.
Ah, formulirnya!
Sial. Umpatnya dalam hati.
Matanya dengan segera ia fokuskan kembali kearah kertas yang saat ini memang seharusnya menjadi prioritas baginya.
'Formulir Pendaftaran'
Kalimat itu dengan jelas tertera sebagai judul dari formulir itu. Dengan lancar, Tiffany menjawab semua pertanyaan berupa nama lengkap, tempat tanggal lahir, dan lainnya.
Tekadnya kuat, ia akan mewujudkan mimpi sebagai anggota FBI yang profesional.
Saat mengisi tanggal lahir sebenarnya membuat Tiffany tak percaya diri mengingat usianya saat ini yang terbilang cukup tua untuk mengikuti pelatihan semacam itu. Namun baginya tak ada kata terlambat dalam menuntut ilmu, bukan? Apalagi dalam hal ini, ia akan mengejar sesuatu yang telah ia impikan sejak lama.
Tak terasa baginya kini telah mengisi semua pertanyaan dalam formulir itu. Senang rasanya ketika tahap awal seperti ini bisa ia lalui dengan mudah. Semoga saja, untuk selanjutnya akan tetap seperti ini.
Tiffany menghembuskan nafasnya pelan.
Matanya memang melihat hanya kearah formulir yang berada dalam genggamannya sekarang. Namun jangan tanyakan isi fikirannya. Karena sejak beberapa detik yang lalu, fikirannya itu dengan kurang ajarnya kembali memikirkan hal yang terus memaksa datang dalam kepalanya sejak tadi.
'Setelah ini apalagi yang harus ku lakukan? Bagaimana diriku ketika bertemu Ryan nanti? Lalu hubunganku dengan Jean akan seperti apa nantinya?'
Tiffany sadar betul, sesuatu yang diawali karena niat lain dan keterpaksaan pastinya akan berakhir dengan tidak baik. Ia bersedia bertunangan agar membuat Ryan cemburu dan sekaligus untuk memenuhi permintaan sang ibu yang sakit.
Jika melihat ke masa lalu, Tiffany tentu tak lupa seberapa besar pengorbanan yang ia lakukan agar bisa mendapatkan pengakuan sang ibu. Lalu ketika dirinya diakui dan tak lagi menjadi anak yang disembunyikan, lagi lagi kata pengorbanan tetap melekat dalam dirinya.
Sekarang, apakah ia bahagia dengan keadaan seperti ini? Tentu saja tidak. Namun jika ditanya apa yang akan ia lakukan, jawabannya pun tetap saja, ia tak tahu.
***A***
"Makanan mom enak, seperti biasa."
Tiffany yang baru saja menyuapkan satu sendok makanan kedalam mulutnya segera mendongak untuk melihat Jean yang kini bersiap untuk pergi bahkan ketika makanan dipiring pria itu belum habis setengahnya.
"Kau tidak menghabiskan makananmu?" tanya Diva ketika Jean mengecup dahinya yang hanya dijawab dengan gelengan pelan dari pria itu.
"Kau terburu-buru sekali, ya?" tanya Tiffany.
"Hm."
Hm? Jean menjawabku dengan hanya kata 'hm?'
Tiffany bukan orang bodoh untuk tak menyadari keanehan Jean pagi ini. Bahkan pria itu tak melihatnya sama sekali ketika menjawabnya hanya dengan kata 'hm' tadi. Oh, bukan dirinya yang sensitif, tetapi pria itu memang selalu memperlakukannya terlalu manis setiap berbicara dengannya hingga membuat Tiffany cukup terbiasa dengan perlakuan manis pria itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
ANGUSTIAS [END]
General FictionKehidupan Delora Angustias Wyanet yang menyedihkan membuat dirinya berusaha untuk hidup lebih baik sebagai sosok yang baru. Sayangnya, masa lalu sang ibu seolah terus menjadi sumber utama dalam setiap kesedihan yang ia alami. Bahkan, dalam perjalana...