Ferguso memutuskan keluar dari ruangan itu segera setelah Ryan masuk. Meski tanpa diberi perintah, ia tahu memang tak sepantasnya ia berada diruangan itu sekarang.
Sementara Tiffany masih melihat Ryan dengan tatapan kecewa. Bahkan sindiran yang ia lontarkan sebelumnya hanya dibalas dengan ekspresi datar pria itu.
Lalu dimana Ryan yang melihatnya dengan tatapan berbeda kemarin? Karena saat ini pria itu kembali dengan tatapan dinginnya.
"Jelaskan padaku siapa kau sebenarnya, kenapa kau melakukan ini, dan.."
Tiffany ingin melanjutkan ucapannya. Tetapi entah mengapa suaranya mendadak tertahan dan tak sanggup ia keluarkan.
"Dan?" pancing Ryan.
Tiffany menguatkan hatinya. Ia harus bisa, agar semuanya menjadi lebih jelas.
"Dan apakah.. kau dan aku memiliki ikatan darah?"
Detik demi detik Tiffany menunggu jawaban Ryan.
Namun yang ia dapatkan, adalah pernyataan lain dari pria itu.
"Aku mencintaimu." ucap Ryan, dengan ekspresi dinginnya.
Tiffany terdiam. "Kau mengatakan itu bahkan ketika kau tahu bahwa aku adikmu!?" tanyanya tak percaya.
"Kau juga mencintaiku, kan? Maka untuk apa memikirkan fakta sialan itu, Stephanya?"
"Itu bukan cinta, Ryan. Itu obsesi! Kau gila!"
"AKU TIDAK GILA!!"
Ryan memegang erat kedua sisi bahu Tiffany. Dengan sekuat tenaga Tiffany menahan diri untuk tidak mengeluh kesakitan akibat hal itu.
"Aku menyukaimu sejak lama, itulah faktanya. Aku tak gila! Aku hanya seorang pria normal yang menginginkan seorang wan-"
"Dan wanita itu adalah adikmu sendiri, Ryan!!!"
"Lalu bagaimana dengan dirimu? Bukankah kita sama? Kau juga mencintai kakakmu ini, kan?" ucap Ryan keras kepala. "Karena itu, ayo ikut aku dan abaikan setiap orang yang menghalangi kita!" lanjutnya.
"Tidak.. Aku tidak segila dirimu."
"SUDAH KU BILANG AKU TIDAK GILA!"
"Akkhh!!" pada akhirnya Tiffany tak mampu menahan rasa sakit tatkala cengkraman tangan Ryan di bahunya semakin kuat.
"Kumohon jangan memancing emosiku, Stephanya.. Kumohon.. Luluhlah.. Kembali seperti Stephanya yang menatapku dengan cara yang sama seperti dulu.." ucap Ryan dengan tatapan memohon.
Tiffany tak pernah melihat pria itu menunjukkan tatapan seperti itu sebelumnya. Tapi, tidak. Ia tak akan melakukan seperti apa yang Ryan kataka hanya karena tatapan pria itu saat ini.
Tiffany menggeleng pelan. "Sulit bagiku untuk kembali memiliki perasaan yang sama, Ryan."
Deg.
Seketika ekspresi wajah Ryan mengeras dan lebih dingin dari sebelumnya.
"Kau benar-benar memancing emosiku, Stephanya."
Detika selanjutnya pria itu membanting setiap barang yang ada didalam ruangan itu. Setiapkali Ryan membanting satu barang, Tiffany selalu berusaha untuk tetap tenang karena bagaimanapun didalam rahimnya, terdapat janin yang akan ia lindungi dalam situasinya saat ini.
Setiap hembusan nafas Ryan terdengar begitu kerasnya. Menunjukkan betapa emosi pria itu sedang tak terkendali.
Namun sepertinya dengan membanting banyak barang, mampu sedikit membuatnya tenang. Hingga saat pria itu tak lagi melakukan apapun, detik setelahnya Ryan memutuskan keluar dari ruangan itu.
Meninggalkan Tiffany yang bersyukur dalam hatinya.
***A***
Ryan menutup pintu ruangan tempat Tiffany berada dengan cukup keras. Tidak, emosinya belum stabil. Hanya saja memutuskan untuk tetap berada dalam ruangan itu disaat emosinya seperti sekarang bukanlah pilihan yang baik.
"Ferguso!"
"Ya, Tuan"
Ryan tampak berfikir sejenak. Satu kalimat yang akan ia keluarkan mungkin memberi pengaruh yang besar dalam kehidupannya.
Ya, ia sadar akan hal itu.
Tetapi dilain sisi.. Ia tahu, sosok yang suara tangisannya mulai terdengar itu telah berubah dari sosok dirinya beberapa tahun lalu.
"Hubungi Jean, dan beritahu dia tentang tempat ini." titah Ryan lalu kembali melanjutkan langkahnya. Sedangkan Ferguso tak menyangka akan mendengar perintah seperti itu dari Ryan.
Cukup miris, memang. Melepaskan sesuatu yang telah diperjuangkan bertahun-tahun lamanya hanya karena sebuah fakta yang selalu ditepis namun terkuak juga pada akhirnya.
***A***
Tak lama setelah mendapat panggilan dari orang yang tak dikenal, Jean segera datang ke tempat yang katanya merupakan tempat penyekapan Tiffany.
Dan benar saja.
Betapa terkejutnya Jean ketika melihat Tiffany sedang menangis dengan kondisi tangan terikat. Sedangkan Tiffany seketika menghentikan tangisannya ketika melihag Jean memasuki ruangan itu.
Dengan sigap Jean membuka ikatan tali ditangan Tiffany hingga terlepas. Selama melakukan itu, tak ada suara sama sekali yang terucap dari bibir Jean.
Hingga ketika Jean telah berhasil membuka ikatan itu, barulah Jean mengeluarkan suaranya.
Namun sederet kalimat yang diucapkan oleh Jean terlalu mengejutkan bagi Tiffany.
"Kau bisa pergi sekarang. Ikatanmu sudah kulepas."
"Apa maksudmu.."
"Aku kemari tak hanya untuk melepas ikatan ini, Tiff. Tetapi juga melepaskanmu. Aku akan memberikanmu kesempatan untuk pergi jika memang itu yang kau inginkan."
Tiffany terdiam. Sangat tak menyangka jika Jean akan mengatakan itu dengan mudahnya. "Lalu bagaimana kehamilanku dan kondisi ibu yang-"
"Apa kau masih memikirkan soal itu bahkan setelah mencoba pergi bersama Ryan?" tanya Jean dengan nada sinis.
Sialnya, pertanyaan Jean seperti pukulan telak baginya.
Tanpa menunggu jawaban apapun dari Tiffany, Jean bahkan sudah membalikkan badan dan berjalan keluar di ruangan itu.
Sesaat kemudian dapat Tiffany rasakan jika sebulir air mata kembali membasahi pipinya.
Namun kali ini adalah air mata yang berbeda dari sebelumnya. Kali ini, yang ia rasakan adalah perasaan yang sama ketika orang yang ia sayangi kembali meninggalkannya.
***Tbc***
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGUSTIAS [END]
General FictionKehidupan Delora Angustias Wyanet yang menyedihkan membuat dirinya berusaha untuk hidup lebih baik sebagai sosok yang baru. Sayangnya, masa lalu sang ibu seolah terus menjadi sumber utama dalam setiap kesedihan yang ia alami. Bahkan, dalam perjalana...