5. Aku(?)

10.3K 536 1
                                    

-no quotes-

🍀🍀🍀

JAM dinding sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Aku mengenakan sepatu fantofelku sambil menunggu Nailah merapikan jilbabnya. Ayah sudah berada di bawah memanaskan mobil satu-satunya itu. Beberapa kendaraan sudah berlalu-lalang di jalan kompleks. Kulihat Mbak Sum, ibu penjual sayur kompleks sedang dikerumuni oleh beberapa ibu-ibu untuk menjajakan sayuran. Termasuk Bunda yang tadi pagi tidak sempat pergi ke pasar.

Burung-burung kecil beterbangan kesana kemari sambil berkicauan. Mentari menyinari dengan senang hati. Membuat suasana lebih damai dan mewujudkan suatu kehidupan yang menyenangkan. Aku sungguh menyukai suasana seperti ini.

Tukang bubur ayam melintas. Menawarkan buburnya kepada Ayah yang tengah membuka gerbang pelataran rumah.

"Bubur ayam, Pak!"

"Maaf Mang, sudah sarapan." Kata Ayah sambil tersenyum dan menunjukkan telapak tangannya. Setelah itu Ayah masuk kedalam mobil.

"Oh, begitu Pak, mari Pak!" Ku lihat wajah  Mang Jono sedikit kecewa karena ditolak oleh Ayah. Semoga dagangannya laris manis ya Mang Jono, semoga barokah. Aku menatap gerobak biru yang di dorongnya sambil tersenyum. Mang Jono mulai memukul mangkuknya dengan sendok. Sehingga menimbulkan bunyi. Itu adalah cara Mang Jono dan pedagang bubur lainnya untuk mendatangkan pembeli.

"Berangkat dulu ya Bunda? Assalamu'alaikum." Kataku sambil mencium punggung tangan Bunda sekembalinya dari berlanja di tukang sayur.

"Wa'alaikumussalam, hati-hati ya. Nailah sekolah yang pinter ya sayang!" kata Bunda mencubit pipi Nailah dengan lembut.

"Iya Bunda." katanya lalu mencium punggung tangan Bunda, Bunda pun mencium pipinya yang chubby itu.

"Fisya enggak nih?" Demoku. Rupanya aku masih merasa iri dengan perlakuan Bunda pada Nailah. Meski aku bukanlah anak kecil lagi tapi aku tetap anak kecilnya Bunda.

"Iya, Fisya juga sayang." Bunda mencubit pipiku. Nailah sudah berlari menuju mobil Ayah.

Mobil ayah melaju dengan kecepatan rata-rata. Setelah tujuh menit mobil Ayah  berhenti di depan bangunan bercat biru putih itu. Itu sekolah Nailah. SD Al Muhajirin.

"Dadah Kak Fisya, Ayah." Nailah melambaikan tangannya setelah turun dari mobil. Dan hanya klakson yang diberikan untuk membalas lambaian tangan Nailah. Setelah itu Ayah kembali menginjak gas mobil dengan kaca mobil masih terbuka. Aku tersenyum memandangi Nailah. Di sana sudah ada Bu Yuli--guru Nailah--, jadi kali ini ayah tidak perlu mengantar Nailah sampai kelasnya.

Hening pun melanda ruangan berjalan itu. Akhirnya aku angkat bicara.

"Yah?"

"Ya sayang?" jawab Ayah tanpa memandangku. Ayah masih fokus dengan benda lingkaran hitam di depannya itu.

"Nanti Ayah bisa jemput,kan?" Tanyaku. Aku khawatir jika Ayah tidak bisa jemput lagi aku akan pulang dengan Pak Alfan.

"Inshaallah. Nanti Ayah bisa jemput. Nanti sore Ayah kabarin. Atau kamu yang chat Ayah aja ya!" katanya yang cukup membuatku lega.

"Iya, Yah."

Sesampainya di sekolah Ayah tersenyum genit ke arahku sebelum aku turun setelah Ayah melihat luar kaca mobil.

"Kenapa, Yah?" Tanyaku heran kepada Ayah yang tiba-tiba senyum-senyum sendiri.

"Tidak. Yang rajin ya sayang." katanya lalu menyentuh ubun-ubunku.

Sakinah Bersamamu [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang