41. Luka Baru

5.8K 368 4
                                    

Jangan berharap lebih sama manusia, nanti Allah kasoh pedihnya pengharapan lhoo:).

🍀🍀🍀

SEKIAN lama memang kami jarang bertemu, selain karena kesibukannya mengejar impiannha, juga kesibukan yang lain yang harus kuselesaikan sebagai pelajar masa tenggang.Sekedar berpapasan, itu saja masih jarang menyapa atau bahkan saling melempar senyum.

Dateline mengejar kami. Aku yang dalam waktu dekat ini harus melaksanakan berbagai ujian sebagai syarat kelulusan.

Aku melaksanakan aktifitas seperti biasa tanpa ada beban apa pun yang membuatku kurang semangat.

"Temenin aku ngumpulin ini, yuk," ajakku pada salah seorang temanku. Kali ini aku tidak bersama Billa, ia sibuk sendiri dengan urusannya yang mungkin tidak perlu aku tahu.

"Boleh,"

"Thank you," aku segera menggandeng tangan Zifa menuju ruang guru.

"Mejanya dimana, ya?"

"Kayanya pojok belakang, deh,"

"Oh iya itu,"

Kuletakkan hasil kerjaku di meja Pak Rustam. Kulihat seseorang yang sedang tanang di mejanya. Tapi aku tahu sebenarnya ia tidak tenang, berkutat dengan laptop merahnya, mengetikkan sekian kalimat yang harus segera diselesaikan. Tapi aku tidak tahu apa yang ia kerjakan.

"Yuk, balik kelas," Zifa mengangguk dengan menggandeng tangan kananku.

Langkah kami berdua terhenti setelah seseorang memanggil namaku dari belakang. Awalnya aku tak hiraukan itu, namun orang itu masih tetap memanggilku. Aku kenal suaranya.

"Sya?!" suara itu semakin dekat. Aku membalikkan badanku dan menahan Zifa untuk tidak pergi meninggalkanku.

"Iya, Pak?"

"Sudah makan siang?"

"Sudah, Pak."

"Ya sudah kalau begitu,"

Hanya itu yang ia tanyakan kemudian pergi meninggalkan senyuman. Sepertinya ia akan pergi, menjinjing tas hitamnya dengan sebuah tumpukan ketas yang siap untuk dijilidkan.

"Cie,"

"Apaan sih Zif, nggak seru deh... yuk balik," aku menariknya.

"Kok kamu nggak nanya balik sih, Sya,"

"Mungkin juga udah makan, so nggak perlu nanya balik.."

"Kalo belum gimana?"

"Astaghfirullah," aku menepuk dahiku dan segera berlari menuju kelas meninggalkan Zifa, beruntungnya Pak Alfan masih ada di parkiran. Karena memang parkiran terlihat dari jendela kelasku.

Aku mengambil sebuah kotak berwarna ungu milikku dan berlari menuju parkiran. Sekilas aku melihat Zifa masih mematung keheranan melihatku seperti itu.

"Pak!!!....Maaf banget Pak, Fisya lupa ini,"

"Apa?"

"Dari Bunda, maaf ya, Pak!?"

"Dari Bunda? Apa kamu yang bikin?"

"Bunda, Bapak udah makan siang?"

"Kebetulan belum,"

Ditengah-tengah perbincangan kami bel tanda masuk berbunyi.

"Fisya ke kelas ya Pa...fii amanillah,"

Tidak ada jawaban apa pun setelah aku berlari meninggalkannya. Bahkan aku tidak menanyakan kemana ia akan pergi siang ini.

Zifa masih berada di tempat.

"Kok masih disini, sih?"

"Kamu kenapa deh, baik-baik aja, kan?" Aku terkekeh mendengar pertanyaannya. Belum sempat aku menjawabnya Bu Ida sudah masuk kelas.

🍀🍀🍀

Ya, aku merasa senang. Tapi entah dengannya, mungkin biasa saja.

Aku keluar sekolah, ternyata Ayah sudah menunggu di depan. Kali ini Ayah datang lebih awal sepertinya untuk menjemputku.

"Yah, beli steak boleh?" Ayah mengangguk sambil melirik jam tangan hitamnya yang melingkar apik pergelangan tangan kirinya.Karena ini memang masih jam setengah empat sore, mungkin mampir sebentar ke resto tidak akan kesorean sampai rumah.

"Jangan lupa oleh-oleh buat adekmu," aku mengangguk.

Kami duduk di sebuah meja dekat jendela menunggu seorang pelayan menghampiri dengan membawa daftar menu.

"Eh itu ada Tante Gita, Sya!"

"Oh iya, Yah,"

"Sama siapa, ya?"

Tak lama dari itu muncul seorang laki-laki dari belakang. Aku dan Ayah kenal orang itu.

Menjadi sebuah pertanyaan besar waktu itu. Siapa perempuan yang duduk di samping Tante Gita, dan tak lama Pak Alfan datang kemudian duduk di meja yang sama dengan mereka.

"Sebentar Ayah nyapa dulu,"

"Nggak usah Yah...temenin Fisya makan dong," aku menahan Ayah. Perasaanku mulai tak enak melihat pemandangan sore itu. Ayah mengurungkan niatnya untuk menyapa Tante Gita dan tetap memilih menemaniku makan steak yang sudah tidak utuh lagi.

Pikiranku milai kemana-mana. Untuk tetap berhusnudzan saja terasa sulit sekali.

"Sya, Ayah ke toilet dulu," aku mengangguk dan menatap punggung Ayah sampai Ayah tak terlihat ditelan tembok.

"Bagaimana kalau...."

"Dia?"

"Tidak, bukan.."

"Aku percaya Mas Alfan,"

"Tapi, ehm.. Mungkin teman Tante Gita, tapi jika tidak,"

Batinku bertanya pada diriku sendiri. Aku ingin menangis saat itu. Mungkin karena aku yang terlalu mengharapkannya. Sudah kubilang, berharap sama Allah saja, Sya!! Mataku mulai berkaca-kaca.

Sepuluh menit kemudian Ayah kembali membawa bungkusan steak untuk Nailah dan Bunda.

"Luka baru," tiba-tiba bibirku mengatakan itu di depan Ayah.

"Apa, Sya?"

"Hah...enggak, kepikiran novel aja yang mau kutulis diwattpad...
ayah, ayo pulang..." alibiku.

Ayah beranjak dari kursinya dan kulihat mata Ayah melirik ke meja Tante Gita, Pak Alfan dan seorang perempuan yang tidak kukenal sama sekali tengah duduk bersama mereka.

Ayah merangkulku, seakan-akan tahu perasaanku saat itu. Raut wajahku sudah berubah. Karena tidak biasanya, walau aku merasa lelah setelah beraktifitas seharian tapi kalau perut terisi aku vit lagi, tapi beda dengan kali ini.

Bersambung...

🍀🍀🍀

Hai hai, Alfan Fisya kembali.
Pasti rindu kan? I miss you too. Berhubung hari ini libur aku sempatkan update.

Buat kalian gausah khawatir ya sama virus yang sedang menyarang dunia. Stay save, tetap jaga kesehatan, dan selalu berdoa sama Allah.

Selamat membaca. Doakan juga semoga perempuan itu bukan calon istri alfan ya:)))

🍀🍀🍀

Jangan lupa mengaji.

Sakinah Bersamamu [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang