BAB 36

2.8K 96 0
                                    

Radit melirik jam melingkar di tangannya, menunjukkan pukul 21.20. Ia masih menunggu kedatangan Tibra. Tidak biasanya Tibra telat seperti ini. Padahal Tibra berjanji akan datang jam sembilan. Radit menyesap coffe yang sisa setengah itu. Ia memandang para pengunjung mengisi kursi kosong. Sedetik kemudian ia menatap Tibra, laki-laki itu berjalan ke arahnya. Radit meletakkan cangkir itu di meja.

Tibra memandang Radit, yang sedang duduk di pojok dekat jendela. Radit mengatakan ada hal penting yang harus ia bicarakan. Tibra lalu mendaratkan pantatnya di kursi.

"Sory telat, biasa macet,"

"Kedai kopi ini, dekat sama rumah lo, cuma di seberang sana," ucap Radit.

Tibra tertawa, ia melirik Radit, "Macetnya di rumah bro, bukan di jalan. Lo tau sendiri, gue baru selesai mandi,"

"Mandi malam-malam lagi," dengus Radit.

"Lo tau sendiri gue baru selesai ngapain sama Hanum. Enggak mungkin kan gue datang dalam keadaan keringetan," ucap Tibra diselingi tawa.

"Ada apa sih," ucap Tibra penasaran, ia memanggil waitters, dan memesan coffe. Waitters itu mencatat pesanan Tibra.

Tibra memandang Radit, menunggu jawaban sahabatnya itu. Sahabatnya itu masih terlihat tenang, dan sepertinya pembicaraan ini cukup serius.

"Gue mau nikah bro,"

Alis Tibra terangkat, dan ia sempat tidak percaya bahwa Radit akan menikah. Ia tahu sahabatnya itu seperti apa.

"Serius?"

"Serius lah," ucap Radit, ia menyesap kopi itu kembali.

"Lo mau nikah sama siapa?" Tanya Tibra, ia melihat waitters itu datang membawa pesananya.

"Mau nikah sama adik ipar lo,"

Lama terdiam, dan ia lalu berpikir, "Linggar maksud lo,"

"Ya, iyalah Linggar, siapa lagi adik ipar lo,"

"Lo enggak salahkan, mau nikah sama Linggar. Masalahnya dia masih terlalu muda buat lo, tamat kuliah aja belom. Takutnya dia enggak bisa ngurus lo, gue tau dia kayak apa, yang ada lo ngurusin dia," ucap Tibra, ia menyesap kopi itu.

"Gue serius, gue mau nikah secepatnya," ucap Radit lagi.

"Masalahnya, lo lebih mirip bapaknya Linggar, dari pada suaminya. Lo ketuaan buat dia, enggak cocok lah. Macam enggak ada cewek lain aja, yang naksir lo itu banyak, jangan Linggar lah. Rencana gue mau sekolahin dia lagi ke Jerman,"

"Lo tega sama gue, gue maunya sama Linggar. Untuk apa juga Linggar sekolah ke Jerman lagi. Kalau gue bisa hidupin dia, gue bisa buat dia nyaman," ucap Radit mencoba menjelaskan.

"Pendidikan itu nomor satu bro,"

Radit menarik nafas, ia melirik sahabatnya itu, "Lo tau enggak kenapa gue mau nikahi Linggar secepatnya,"

"Kenapa?"

"Gue udah tidur sama dia," ucap Radit tenang.

Tibra hampir saja menyemburkan kopi yang baru di sesapnya. Ia meletakkan cangkir itu meja,

"Lo udah tidur sama dia !,"

Seketika para pengunjung menoleh ke arahnya, mendengar penuturan Tibra,

"Bisa pelan dikit enggak sih ngomongnya, enggak malu apa,"

Tibra melipat tangannya di dada, ia memandang cukup serius, sahabatnya ini. Oh Tuhan, ia tidak bisa membayangkan Radit telah meniduri adik iparnya sendiri.

"Gila lo, lo rusak adik ipar gue, parah,"

"Makanya gue harus tanggung jawab, gue mau nikah secepatnya. Masalahnya gue udah sering tidur sama Linggar, tanpa pengaman. Cepat atau lambat Linggar akan hamil anak gue," ucap Radit.

"Gila lo ya, ngeselin juga,"

"Gue tanggung jawab bro, gue enggak akan ninggalin dia, gue sayang sama dia,"

Tibra mengangguk paham, ia menatap Radit, setidaknya bocah nakal itu ada yang menjaga dan mengawasinya.

"Tapi lo udah rusak adik ipar gue,"

"Gue bukan rusakin bro, tapi modifikasi biar keren," ucap Radit

"Kampret lo, lo bener-bener parah. Emang Linggar mau nikah sama lo,"

"Kalau dipaksa ya mau lah,"

"Kapan lo akan nikahi dia," ucap Tibra serius.

"Kalau bisa besok,"

Tibra tertawa, ia melirik Radit, sahabatnya itu cukup serius atas tindakannya,

"Lo jangan ikut-ikutan gue lah, masa asal langsung nikahi gitu aja. Enggak modal banget, jadi cowok,"

Radit seketika tertawa, "Itu lo, bukan gue. Lo parah kawin lari, enggak modal, cuma modal pulpen doang. Itu juga lo paksa Hanum buat tanda tangan. Kalau gue jadi lo, malu kali sama duit lo yang segunung itu,"

Tibra tertawa, jika mengingat apa yang di lakukannya terhadap Hanum, ya memang seperti itulah kejadiannya. Inginnya sih kemarin mau ngadain resepsi, tapi Hanum malah menolak, tidak ingin merepotkan.

"Itu namanya kepepet bro, demi masa depan hidup gue,"

"Gila lo ya nikah sampe nekat gitu, Hanum masih punya keluarga lengkap di Kalimantan. Izin dulu kek apa gitu, nikahi anak orang. Hanum bisa tumbuh cantik seperti itu karena orang tuanya,"

"Lo nasehatin gue lagi, lo itu sama aja. Setelah nikah gue langsung ke Kalimantan lah, minta restu. Orang tuanya Hanum baik, sopan, enggak marah gue udah nikahi anaknya dengan cara enggak sopan seperti itu. Gue ajak hidup di Jakarta, orang tua Hanum enggak mau. Alasannya ya karena di sana banyak keluarganya. Gue udah buatin usaha mini market di depan rumahnya, bantu perekonomian beliau,"

"Gue juga bakal buka rumah makan padang di depan rumahnya juga, bila perlu," ucap Radit tidak mau kalah.

Tibra lalu tertawa, ia melirik Radit, "Terus rencana lo apa setelah ini,"

"Ya nikah lah, gue minta bantu lo buat ngomong sama Hanum. Takutnya dia marah kalau gue mau nikahi adeknya secepat ini. Lo tenang aja, nanti bunda akan ngomong juga sama Hanum," ucap Radit.

"Kalau ada bunda yang ngomong, ya pasti Hanum mau, enggak ada pilihan lain,"

"Terus masalah video itu," ucap Tibra,

"Biarin ajalah, gue yakin itu di buat dengan sengaja oleh mantan nya Linggar,"

"Gue sih mikirnya gitu,"

"Gue juga minta bantuan lo bro,"

"Banyak banget sih lo minta bantuan, gue bukan dinas sosial,"

"Sekali-kali lah demi gue," ucap Radit.

"Minta bantu apa,"

"Selidiki siapa yang menyebarkan video itu, itu aja sih," ucap Radit.

Tibra lalu tertawa, melirik Radit, "Gampang lah itu, tinggal minta rekaman cctv di starbucks aja. Gue yakin, pasti kerjaan bocah sialan itu,"

"Thanks bro,"

Percakapan itu pun berlanjut hingga tengah malam.

*********

CINTA SELEBGRAM DAN TUAN CEO (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang