Setelah menghilang selama dua minggu, Luigene kembali ke rutinitasnya seperti biasa menulis laporan dengan secangkir espresso andalannya.
"Maeve, satu cangkir espresso, aku duduk di tempat biasa." Tak seperti biasanya kali ini Luigene memesan secangkir espressonya pada Maeve bukan Sydney yang jelas berada di samping perempuan itu.
Sontak Maeve menoleh ke arah Sydney sedikit tak enak hati, biasanya Luigene akan selalu memesan kepada Sydney bukan dirinya tetapi Maeve tak menolak dan tersenyum, "Baik."
"Terima kasih," ujar Luigene tanpa menoleh ke arah Sydney segera berbalik untuk kembali pada tempatnya.
"Kalian bertengkar?" Pertanyaan Maeve tak digubris oleh Sydney, perempuan itu bertingkah seolah ia tak mendengarnya.
Sampai akhirnya Maeve akan mengantarkan pesanan milik Luigene barulah Sydney membuka suaranya, "Biar aku saja yang mengantarnya."
"Ini pesananmu."
"Letakan saja terima kasih." Pria itu tampak tak acuh, menoleh saja tidak.
Tak seperti biasa, mereka berdua tak berbicara satu sama lain hingga cafe tutup.
Luigene hanya sibuk dengan tumpukan kertas serta kacamata tua yang bertengger pada batang hidungnya. Sedangkan Sydney sibuk melayani pelanggan cafe yang ramai sambil sesekali mencuri pandang ke arah Luigene.
Hingga akhirnya tak ada lagi pelanggan tersisa dan sign board menandakan bahwa cafe nya telah tutup barulah Sydney bergegas untuk pulang.
"Bisa kita bicara, Sydney?" Luigene dengan mengendarai sebuah sepeda tua datang menghampirinya yang baru saja menutup cafe.
Sejak insiden penembakan itu, Sydney selalu menutup cafenya pada sore hari, ia tidak ingin pulang sendirian larut malam, takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan.
"Aku pikir kau tak ingin berbicara denganku lagi."
"Naiklah," ujar Luigene menghentikan sepedanya tepat di sebelah perempuan itu.
"Kau akan menculik ku?" tanya Sydney meski begitu ia langsung naik ke atas sepeda dan memegangi baju Luigene sebagai pegangan agar tidak terjatuh, "Dari mana kau mendapatkan sepeda ini?"
"Aku mencurinya." Tak menjawab rasa penasaran Sydney, jawaban pria itu justru membuat tawa Sydney menggema.
Laju sepeda milik Luigene yang cukup lambat membuat mereka akhirnya sampai pada bukit luas yang berada cukup jauh dari kediamannya.
Sydney hanya mengikuti Luigene untuk duduk di hamparan luas itu sambil menunggu matahari terbenam.
Tampak Luigene memetik beberapa rumput yang panjang kemudian mengikatnya menjadi satu kuntum dan menyerahkannya kepada Sydney.
"Apa?"
"Untukmu," jawabnya polos.
"Aku bukan sapi."
"Tidak ada bunga di sini, kalau tidak mau aku akan membuangnya."
Baru saja Luigene akan melemparnya, Sydney lebih dulu menarik sekuntum rumput tersebut dari tangan Luigene. "Berikan padaku."
Keduanya kembali terdiam larut dalam kecanggungan hingga akhirnya Luigene membuka pembicaraan, "Kemarin seorang pria menarikmu, kau baik-baik saja?"
Luigene berpura-pura tak mengenali Romeo dan mendengar perkataan pria itu kemarin yang mengclaim Sydney sebagai kepemilikannya.
"Ah ya, kurasa..." Sydney tersenyum kaku sedikit lega karena Luigene tidak mengenali Romeo.
"Pergelangan tanganmu? Dia menarikmu cukup keras."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Luigene: SECRET SENTINEL
Romance[COMPLETED] Kisah ini diambil dari surat-surat milik mantan Putri Mahkota Inggris, Sydney Anaraya dalam buku hariannya. Hingga saat ini tak ada yang tahu pasti keberadaan Putri Sydney setelah surat terakhirnya yang tak pernah selesai-meninggalkan n...