Penggalan XXXV.

2.6K 263 15
                                    

          Dengan keadaan wajah yang dipenuhi memar pada bagian sebelah kanan membuat Luigene terlihat kacau dan memprihatinkan saat duduk pada sebuah bangku koridor rumah sakit. Kepala pria itu tertunduk hingga akhirnya terpaksa mendongak ketika seseorang menyodorkan secangkir kopi ke arahnya.

"Kopi?" tawar perempuan itu dengan senyum miris di wajahnya. "Sedikit kopi mungkin membantu."

"Aether?" seakan tak menyangka bahwa perempuan itu sekarang di hadapannya, Luigene tetap menerima kopi pemberian kekasihnya.

"Boleh aku duduk?" tanya Aether lagi karena pria itu hanya menatapnya mematung, "Apa aku sejelek itu hingga kau begitu terkejut melihatku?"

Luigene tak menjawab namun sedikit bergeser seakan mempersilahkan Aether untuk bergabung bersamanya.

"Kemari, biar aku lihat wajahmu," menarik wajah Luigene yang sudah dipenuhi memar, perempuan itu meneliti wajah kekasihnya sembari menghela nafas kecil. "Seharusnya kau tidak bertindak gegabah seperti tadi, tindakanmu bisa membahayakan Sydney," ujarnya dengan santai seakan ia telah menyaksikan segalanya.

Luigene tau betapa bodoh pertanyaannya ini akan terdengar namun ia tetap ingin menanyakannya, "Kau tidak marah kepadaku?"

Untuk sesaat Aether tak menjawab, ia sibuk menempelkan sekantung ice pack yang telah ia bawa persiapkan untuk mengobati wajah Luigene–setidaknya ice pack ini bisa meredakan bengkak dan nyeri akibat pukulan Edward tersebut. Ya, Aether memang telah melihat dan mendengar segalanya, jika bukan karena Darnley yang melerai mungkin Luigene benar-benar akan habis di tangan Edward dan bodohnya pria itu tidak melawan.

"Bagaimana aku bisa marah kepada pria yang telah menolong hidupku." Meski mengatakannya dengan tenang namun jauh di lubuk hati Aether, ia juga terluka.

Namun Luigene adalah pria yang telah menolongnya, kesalahan apa pun yang Luigene perbuat tidak bisa membuat Aether lantas marah atau kecewa kepada pria itu. Apa yang telah pria itu lakukan jauh lebih berarti ketimbang kesalahan yang telah ia perbuat.

"Aku sudah mengkhianatimu," aku Luigene menatap Aether dalam, penuh keyakinan untuk membuka dan membicarakan masalah ini. Lagi pula, untuk apa menutupinya lagi?

"Jangan katakan itu, seharusnya kau memberitahuku lebih awal, aku akan berusaha untuk mengerti."

Berusaha mengerti? Luigene menggeleng pelan, bagaimana Aether bisa mengatakan itu.

"Memberitahumu bahwa aku mencintai wanita lain? Bagaimana mungkin..."

"Sejak awal aku sudah mengetahuinya, tetapi aku tidak tau bahwa wanita itu adalah Sydney."

Aneh, namun itulah faktanya. Sejak saat mereka mengenal satu sama lain lebih dalam dan memutuskan untuk bersama, saat itu juga Aether tau bahwa Luigene tidak benar-benar mencintainya, pria itu mencintai wanita lain dan Aether menyadarinya. Mengenai siapa sosok wanita yang dicintai oleh kekasihnya, Aether tidak pernah berusaha mencari tau atau repot memikirkan itu.

"Kau mengetahuinya? Lalu mengapa kau tetap bertahan di sisiku meski kau sudah mengetahuinya."

Mengapa?

"Sama sepertimu, aku ingin membantumu. Aku pikir seiring berjalan waktu kau akan membuka diri dan melupakannya. Dalam proses itu, aku takut kau tidak memiliki seseorang untuk berpegang."

Semua itu karena Luigene, pria itu telah menyelamatkan hidupnya. Aether dan Luigene memang mengenal satu sama lain melalui Egor, ayahnya Romeo.

Saat itu Aether sudah memiliki kekasih yang sudah bersamanya selama bertahun-tahun, hubungan mereka terlihat sangat harmonis dan membahagiakan hingga tidak ada satu pun orang yang tau bahwa dalam hubungan itu Aether tersiksa, baik secara mental maupun fisik.

Dear, Luigene: SECRET SENTINELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang