Penggalan XLIX.

2.3K 242 7
                                    

"Hanya untuk hari ini, tolong berpura-puralah menjadi kekasihku."

Belum sempat Sydney menjawab, pria itu lebih dulu turun dan membuka pintu Sydney. Tanpa persetujuan menariknya keluar dengan tangan yang menggenggamnya erat.

"Tempat yang paling kau sukai adalah pantai," senyum Luigene mengembang sempurna menatap Sydney, langkahnya pelan menyusuri hamparan pantai yang kosong.

Meski salah, namun tubuh Sydney enggan untuk menepis. Seakan menyetujui permintaan Luigene, ia membalas genggaman tangan pria itu, kini mereka terlihat sempurna seperti sepasang kekasih.

"Rasanya aneh dan sedikit tidak menyangka karena aku bisa menggenggam tanganmu lagi seperti ini. Terakhir kali aku menggenggam tanganmu, rasanya sangat dingin. Aku sangat takut, tangan itu tidak bisa menjadi hangat lagi. Tetapi Tuhan sangat baik, memberiku kesempatan lagi untukku memperbaiki segalanya. Ada banyak penyesalan di masa lalu, aku berharap bisa menebus dan memperbaikinya."

"Semua sudah berlalu, tidak perlu mengingatnya. Sekarang aku di sini, di sampingmu."

"Ada banyak penyesalan yang tidak bisa aku lupakan, seandainya saat itu aku tidak menjadi pengecut, seandainya saat itu aku tidak melepasmu, seandainya saat itu aku cukup berani dan masih banyak seandainya yang lain."

Ini pertama kalinya Luigene membocorkan isi hatinya terang-terangan kepada Sydney. Anehnya, Sydney tidak ingin mendengarnya, hatinya ikut sakit mengingatnya.

Bagi Sydney, pria itu tidak bersalah, keadaan lah yang tidak berpihak pada mereka saat itu.

"Mengapa pantai–mengapa kau membawaku kemari?" tanya Sydney seakan mengalihkan topik pembicaraa.

"Ini tempat di mana pertama kalinya aku menyadari, bahwa aku telah jatuh cinta lagi." Langkah Luigene terhenti, ia menggulung celananya sebelum melangkah ke dekat bibir pantai. "Kemarilah," tanpa melepas genggaman tangannya, ia menarik Sydney mendekat. Membuat ombak kecil dengan malu menyapu telapak kaki mereka.

"Pejamkan matamu dan bayangkan apa yang aku katakan, aku ingin kau mengetahui isi hatiku."

Tanpa banyak bertanya Sydney memejamkan matanya, hanya kegelapan yang bisa ia lihat.

Melihat itu membuat Luigene tersenyum, setidaknya hari ini Sydney tidak keras kepala.

"Saat itu aroma laut yang sama menyerbak, menembus indra penciumanku. Cahaya matahari begitu hangat menyelimuti tubuhku, saat itu aku menemukan sebuah permadani yang ditenun dengan keanggunan, tanpa sadar, wanita itu berhasil menarikku. Di dalam dirinya aku menemukan alasan untuk jatuh cinta kepadanya."

Tak dipungkiri jantung Sydney berdebar kuat, ia mengingat kembali pertemuan pertama mereka yang terjadi bukan di House of Sydney, melainkan pada sebuah pantai kecil di pinggir kota. Entah saat itu hanya sebuah kebetulan atau bukan, namun hari itu menjadi lembaran pertama kisah mereka dimulai.

Kisah tentang pertemuan yang seharusnya mengabaikan pengenalan. Sebuah pertemuan yang tak seharusnya membuat mereka bersikeras mengabaikan segalanya karena perasaan yang seperti ombak pasang.

"Apa yang kau pikirkan saat melihat wanita itu?" tanya Sydney masih dengan mata terpejam, seolah ingin mengetahui lebih dalam isi hati Luigene.

"Di hadapannya aku menemukan sebuah cinta yang begitu mendalam, seolah-olah hatiku berbisik bahwa aku ingin mencintainya, setiap aku berada di dekatnya."

"Mengapa kau ingin mencintainya?"

"Jatuh cinta padanya mungkin terasa seperti menari menembus rona keemasan musim gugur, di mana setiap momen adalah melodi kehangatan."

"Sekarang katakan yang sejujurnya, apa kau menyesal pernah bertemu dengan wanita itu?"

"Sampai sekarang pun aku tidak menyesali pertemuan itu, sejak awal hingga detik ini. Yang aku sesali hanyalah diriku yang terlalu pengecut."

"Pertemuan itu sudah membuatmu menderita terlalu banyak."

"Jika saat itu aku tidak bertemu dengannya, mungkin aku tidak akan mengerti bagaimana cara melukis warna pada kanvasku."

"Ada banyak wanita lain selain wanita itu, yang bisa membantumu melukisnya."

"Tidak ada yang sebaik dirinya."

Sontak Sydney tidak mampu menahan diri untuk tidak membuka matanya. Saat itu mata mereka bertemu, keduanya hanya saling bertatapan untuk beberapa waktu.

"Kau sudah jatuh terlalu dalam kepada wanita itu." Luigene mengangguk mengiyakan, memang itulah faktanya.

Tidak, bukan hanya Luigene. Sydney pun sama, ia telah jatuh begitu dalam untuknya.

Jika Sydney tidak mencintai Luigene, ia mungkin sudah menepis tangan pria itu saat Luigene meraih tengkuknya, ibu jarinya bergerak mengusap wajahnya lembut.

Sentuhan hangat ini adalah sentuhan yang Sydney rindukan, rasanya ia ingin menarik pria itu lebih dalam dan membisikkan betapa ia mencintainya.

Bersama dengan hangatnya Sang Surya yang menyelimutinya, saat itu juga hangatnya bibir Luigene menjalar pada bibirnya, pria itu menciumnya dengan familiar.

Sydney meremas kemeja pria itu karena terkejut, wajahnya ikut menghangat seperti anak remaja yang baru jatuh cinta. Ini bukan pertama kalinya, tetapi jantungnya masih berdebar dengan antusias, mendambakan lebih.

Hari ini Sydney adalah kekasihnya, kekasih Luigene. Tidak apa jika ia membalasnya.

Menepis segala pikirannya, Sydney mengalungkan lemgannya pada leher Luigene, membalas pria itu. Kecupan hangat yang semula terjalin, perlahan berubah menjadi pangutan panas. Keduanya saling mengejar satu sama lain seakan haus, hingga akhirnya tawa mereka pecah tak beralasan.

Luigene menempelkan dahinya, menangkup wajah wanita yang ia cintai. Dalam jarak sedekat ini, ia masih bisa merasakan hembusan nafas Sydney menerpa wajahnya.

Oh, betapa Luigene merindukan wanita ini.

Hal itu menjadi awal bagaimana mereka melupakan perdebatan yang semula terjadi begitu saja.

Larut dalam suasana dan obrolan, keduanya benar-benar menghabiskan hari bagai sepasang kekasih.

Sudah lama Sydney tidak tertawa selepas ini, begitu pula dengan Luigene. Perasaan nyaman dan hangat yang didapatkan dari satu sama lain, mungkin perasaan seperti itu yang tidak didapatkan dari pasangan satu sama lain.

"I find my greatest joy and purpose in being with you." Secara mengejutkan Luigene berlutut di hadapannya, pria itu mengeluarkan sebuah kotak yang sudah ia persiapkan.

Sydney bersingut mundur, membekap mulutnya sendiri tak percaya mendapati sebuah cincin di dalam kotak tersebut.

"Marry me, Sydney."

Ini bukan pertama kalinya seorang pria melamarnya, sebelumnya Romeo sudah pernah berlutut dan melamarnya. Akan tetapi, kali ini waktu seakan berhenti seolah menunggu jawaban Sydney bersamaan dengan pria yang berlutut di hadapannya sekarang.

Sesaat telinganya menjadi tuli, tak mampu mendengar suara lain yang masuk selain dua kata keramar yang terus terngiang dalam kepalanya.

Marry me.

Dear, Luigene: SECRET SENTINELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang