Sydney telah memikirkan segala konsekuensi yang akan ia hadapi saat bertemu dengan Romeo. Namun ia tidak pernah menyangka jika akan berhadapan langsung dengan pria itu secepat ini–Romeo, sudah menunggunya di depan kediaman Luigene, entah bagaimana tapi pria itu benar-benar menjemputnya.
Pria itu tidak membuat keributan atau mengatakan apa pun bahkan selama di dalam perjalanan hingga tiba di istana. Tidak ada pertanyaan atau tuntutan untuk menjelaskan apa yang terjadi kemarin, Romeo bertingkah seolah tidak terjadi apa pun, pria itu seakan menutup matanya.
"Romeo," panggil Sydney menyusul langkah besar Romeo sedikit kesulitan.
Menyadari derap langkah Sydney yang tergesa membuat Romeo segera menghentikan langkahnya, "Jangan berlari seperti itu, apa yang ingin kau kejar?"
"Duduklah, aku akan memijat kakimu," menyadari kaki Sydney yang terlihat lebih bengkak dari sebelumnya, pria itu menuntut Sydney untuk duduk.
"Romeo," panggilnya lagi berusaha menarik kakinya namun Romeo menahannya, memberi pijatan kecil dengan ahli seolah pria itu memang sudah sering melakukannya.
"Sebentar lagi kau akan melahirkan, jangan terlalu sering berpergian tanpaku, aku tidak ingin sesuatu terjadi."
Sydney tidak menjawab, membiarkan pria itu berbicara. Ia terlalu tercengang mendapati respon Romeo yang tidak sesuai dengan harapannya.
"Saat aku pergi kemarin, aku memikirkan beberapa nama yang bagus, bagaimana jika kau memilihnya? Ah, aku lupa mengatakan ini, ruangan yang berada di sebelah kamar kita sudah dikosongkan dan akan menjadi kamar anak, kau mau mendesainnya sendiri?"
Senyum Romeo mengembang dengan tulus, pria itu bahkan tertawa kecil saat mengusap perut milik Sydney. "Juga kontrol terakhirmu untuk–"
"Romeo," lagi, Sydney berusaha menyadarkan Romeo, "Kenapa kau melakukan semua ini?"
"Memang sudah seharusnya aku mempersiapkan segalanya, aku suamimu. Tugasmu adalah mengandung dan melahirkan anak kita, selebihnya biar aku yang mengurusnya."
"Kau tau di mana dan bersama siapa aku semalam."
Dengan tanpa beban Romeo mengangguk mengiyakan, ia memang mengetahuinya. "Jika kau lupa, aku yang menjemputmu tadi pagi."
"Lalu?" menarik kakinya dari pangkuan Romeo, "Berhentilah berpura-pura seolah tidak ada yang terjadi."
"Memang ada apa? Kau hanya bermalam di luar istana selama satu malam, itu bukan masalah."
"Aku bermalam bersama pria lain, dan itu adalah masalah."
Penegasan itu tak membuat Romeo marah, justru tersenyum hangat mengusap puncak kepala Sydney. "Kau pasti memiliki alasan, aku percaya kepadamu."
"Romeo!" dengan cepat ia menepis tangan Romeo kesal, "Berhentilah seperti ini, aku mohon!"
"Anaraya, kita tidak perlu membahas ini, aku akan melupakan apa yang terjadi kemarin begitu juga denganmu."
"Tidak," tolak Sydney cepat, "Kita harus membicarakan ini, kali ini kita harus menyelesaikannya."
"Aku tidak mau." Dengan cepat Romeo meninggalkan duduknya, "Beristirahatlah, kau pasti lelah."
"Ceraikan aku, Romeo."
Tekad Romeo sudah bulat untuk tidak berbalik atau sekedar berhenti. Namun ucapan Sydney sukses membuat langkahnya terhenti dan berbalik.
"Menahanku lebih lama di sisimu tidak akan mengubah apa pun, selain menyakitimu lebih lama."
"Kau tidak perlu memikirkan itu, aku bisa mengatasinya."
"Selama delapan bulan kita terjebak pada pernikahan ini, kita terus meributkan masalah yang sama dan aku sudah lelah untuk menyangkalnya."
"Mulai sekarang aku tidak akan mempermasalahkannya lagi, jadi aku mohon tarik kata-katamu kembali."
"Bukan itu yang aku inginkan, Romeo. Aku mohon ceraikan aku, lepaskan aku," lirih Sydney suaranya tercekat.
"Sejak awal kita menikah hingga detik ini, tidak sedikit pun aku berpikir untuk menceraikanmu. Kesalahan dan masalah bisa terjadi dalam rumah tangga tetapi aku tidak akan menceraikanmu hanya karena itu. Aku berjanji untuk selalu bersama dan setiap hanya kepadamu hingga maut memisahkan, itu adalah janji pernikahan kita dan aku bersungguh-sungguh saat mengucapkannya."
"Romeo, tidakkah kau mengerti? Aku menderita karena harus hidup dalam kepalsuan ini, aku selalu membohongi diriku sendiri, berpura-pura bahagia menjadi istrimu."
"Tetapi aku tidak pernah berpura-pura, aku sangat bahagia menjadi suamimu."
"Aku tidak mencintaimu Romeo, tidak sedikit pun. Di hatiku, hanya ada seorang pria dan aku tidak bisa melupakannya. Aku menderita karena terus merindukannya, aku juga menderita karena tidak bisa berlari ke arahnya."
"Aku tidak akan memaksamu untuk melupakannya, kita masih memiliki banyak waktu, kau bisa memanfaatkan waktu selama yang kau inginkan untuk melupakannya, aku tidak akan mempermasalahkan itu."
"Bagaimana jika selamanya aku tidak bisa melupakannya? Bagaimana jika aku mencintainya sampai akhir?"
"Tidak masalah, aku tidak bisa memaksa perasaanmu tetapi kau juga tidak bisa memaksaku untuk memilih mencintaimu sampai akhir."
"Ada banyak perempuan di luar sana yang bisa mencintaimu dengan tulus."
"Tetapi aku hanya ingin mencintaimu dengan tulus, bukan perempuan lain."
"Romeo," panggil Sydney terdengar memohon, "Aku mohon ceraikan saja aku, aku berjanji bahwa aku tidak akan menuntut apa pun darimu."
"Jika aku menceraikanmu, apa kau akan menikah dengan Luigene? Pria itu pasti sudah menghasutmu untuk lari bersamanya, bukan?"
Tidak, Luigene tidak pernah menghasutnya. Sejak awal, keinginannya adalah bersama pria itu.
"Anaraya, bagaimana dengan anak kita?"
"Hentikan Romeo! Berhenti membohongi dirimu sendiri dengan mengatakan bahwa ini anakmu!"
Senyum getir terukir pada bibir Romeo. "Apa kau memberitahu Luigene bahwa itu adalah anaknya?"
"Dia memang ayah kandungnya, dia pantas tau kebenarannya."
Ayah kandungnya? Apa Sydney tidak memikirkan betapa hancurnya Romeo saat mendengar ucapannya barusan.
"Bagaimana jika sampai akhir, aku tidak menceraikanmu, apa kau akan lari bersama Luigene?"
"Ya," angguknya dengan mantap, "Aku akan melakukan apa pun agar bisa bersamanya."
Selama ini Sydney bertahan, berpikir bahwa tidak akan ada lagi kesempatan untuknya bisa bersama pria yang ia cintai. Api harapannya perlahan padam, perlahan rasa dingin mulai menusuk dirinya. Akan tetapi sepercik harapan muncul, Sydney tidak ingin melepasnya.
Bayang-bayang akan perasaan yang hampa dan duka akibat berpisah pada sang kekasih membuatnya ingin memperjuangkan sepercik harapan itu.
Entah siapa antagonis sesungguhnya dalam cerita ini.
Apakah Sydney yang tidak bisa mencintai suaminya sendiri karena ia sudah memiliki pria lain di dalam hatinya?
Atau Luigene, pria lain yang hadir di dalam kehidupan Sydney dan Romeo?
Atau justru Romeo yang memaksa untuk tetap mempertahankan Sydney di sisinya meski tau bahwa Sydney tersiksa dan tidak mencintainya?
Siapa pun antagonisnya, mereka bertiga tetap tersakiti dengan cara dan porsi yang berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Luigene: SECRET SENTINEL
Romance[COMPLETED] Kisah ini diambil dari surat-surat milik mantan Putri Mahkota Inggris, Sydney Anaraya dalam buku hariannya. Hingga saat ini tak ada yang tahu pasti keberadaan Putri Sydney setelah surat terakhirnya yang tak pernah selesai-meninggalkan n...