Luigene merasa bersalah karena harus meninggalkan Aether secara mendadak bahkan tanpa sempat berpamitan pada perempuan itu sebelumnya padahal Luigene lah yang membawanya ke pesta itu. Begitu tiba di kediamannya, Luigene segera menghubungi perempuan yang berstatus sebagai kekasihnya itu.
"Maaf karena harus meninggalkanmu begitu saja, aku ada urusan mendadak."
Sebenarnya Luigene sudah siap jika Aether akan marah dan mencecarnya habis-habisan.
Akan tetapi seperti biasa Aether selalu bersikap dewasa, responnya justru di luar dugaan, membuat Luigene semakin merasa bersalah.
"Tidak masalah, lagi pula ada banyak orang di sini."
"Aku sudah mengirimkan supir untuk menjemputmu, pulang dan beristirahatlah, jangan tungggu aku."
"Kau akan pulang larut?"
"Malam ini aku tidak akan pulang."
"Ya sudah tidak masalah, apa itu urusan yang sangat penting?"
"Hm," gumam Luigene singkat, lidahnya terlalu keluh untuk menjawab Aether, rasanya seperti sedang membohonginya.
"Baiklah, hati-hati saat berkendara dan segera hubungi aku jika terjadi sesuatu, mengerti?"
"Aku akan segera menghubungi polisi dan ambulance jika terjadi sesuatu, lalu baru menghubungimu."
"Ya terserah!" dengus Aether kesal dari sambungan telepon, "Jangan terlalu memaksakan dirimu dan jangan sampai aku menangkapmu minum kopi, mengerti?"
Sudut bibir Luigene tertarik membentuk sebuah senyuman, tiba-tiba terlintas sebuah pertanyaan dalam benaknya. "Menangkapku minum kopi atau menangkapku bersama perempuan lain, mana yang lebih membuatmu marah?"
Untuk sejenak Aether hanya diam, tidak membalas pertanyaan Luigene.
"Menangkapmu minum kopi."
"Mengapa?"
"Jika melihatmu bersama perempuan lain maka hatiku akan sakit sedangkan kau tidak, sebaliknya jika kau minum kopi maka kau bisa sakit sedangkan aku tidak. Jadi lebih baik aku saja yang sakit ketimbang harus melihatmu sakit."
Kini situasinya terbalik, Luigene dibuat membisu dengan jawaban kekasihnya itu. Tak pernah terlintas dalam benaknya jika jawaban seperti itu akan keluar dari mulut Aether.
Rasa bersalah Luigene semakin menggerogotinya mendengar ketulusan Aether. Sejak awal, Luigene hanya memanfaatkannya, menjadikannya pelampiasan. Sedangkan Aether, meski usianya jauh lebih muda tetapi perempuan itu sangat dewasa dan selalu bisa mengerti Luigene.
"Lui, kau baik-baik saja?"
"Hm," gumam Luigene singkat, takut jika dirinya akan larut dalam rasa bersalah lebih dalam.
"Ya sudah, aku matikan teleponnya ya."
Jika itu perempuan lain mungkin mereka akan marah, menangis, atau bahkan memaki Luigene.
Tetapi Aether, suaranya terdengar begitu lembut dan ceria seolah terus berusaha untuk memahami Luigene. Untuk sekarang Luigene tidak memiliki pilihan lain selain mengkhianati Aether seperti ini.
Ia harus segera meluruskan benang kusut yang selama ini menjerat dirinya dan Sydney.
"Apa itu Aether?" Sydney berjalan mendekati Luigene tepat setelah panggilannya berakhir.
Sebenarnya Sydney sempat mendengar percakapan mereka dan sama seperti Luigene, ia juga merasa bersalah mengingat fakta bahwa yang Sydney lakukan sekarang akan menyakiti hati perempuan lain.
Luigene adalah kekasih Aether, meski sudah mengetahuinya namun Sydney tetap meminta waktu pria itu.
"Aku tidak berpamitan kepadanya dan meninggalkannya begitu saja di sana sendirian."
"Dia pasti marah."
Luigene berharap jika perempuan itu marah, lebih baik mengamuk dan memakinya.
Namun nyatanya tidak.
"Dia tidak marah."
Luigene berbalik menatap Sydney yang tengah memegangi perutnya, "Duduklah," menuntun tubuh Sdyney untuk duduk, "Sudah berapa usia kandunganmu saat ini?"
"Delapan bulan, sebentar lagi aku akan melahirkan."
Delapan bulan, selama itu Luigene tidak pernah ada untuk Sydney dan bayinya.
"Bagaimana keadaannya?"
"Dia sangat sehat dan aktif, dia anak yang kuat tetapi aku belum mengetahui jenis kelaminnya."
"Kau pasti kesulitan."
"Romeo mengurusku dengan baik, dia bahkan mengatur menu makanku, dan tidak membiarkan aku kelelahan sedetik pun. Hingga saat ini aku menikmati kehamilan ini, karena banyak yang membantuku."
"Sydney, aku rasa kita harus membicarakan tentang ini."
"Aku tau kau tidak akan percaya–"
"Aku percaya," potong Luigene cepat penuh keyakinan, tak sedikitpun ia meragukan ucapan Sydney. "Maka dari itu aku membawamu kemari."
"Mengapa kau tidak mengatakannya lebih awal kepadaku? Dan apakah Romeo mengetahuinya?"
"Aku tidak memiliki kesempatan untuk memberitahumu dan mengenai Romeo, dia yakin bahwa ini adalah anaknya bahkan dengan tegas menolak untuk melakukan tes DNA."
"Romeo sudah mengetahuinya?"
"Hari di mana kami menikah, tepat hari itu juga aku mengetahui bahwa aku tengah mengandung dengan usia kandungan dua bulan. Aku meminta Romeo untuk melakukan tes DNA karena yakin jika bayi ini bukan milik Romeo tetapi dengan keras dia menolaknya."
Alis Luigene bertaut menyiratkan raut kebingungan, fakta bahwa Romeo menolak untuk melakukan tes DNA menandakan bahwa ada ketakutan dalam hati Romeo, di mana pria itu takut jika memang anak ini bukan miliknya.
"Sydney, kau mungkin sudah tidak mempercayaiku lagi tetapi tolong lahirkan anak ini dengan selamat dan beri aku waktu," menarik tangan Sydney ke dalam genggamannya, "Beri aku waktu untuk mempersiapkan segalanya lalu aku akan membawa kalian bersamaku, apa kau bersedia?"
"Sebelumnya aku meminta waktumu hanya untuk satu hari namun kau menolakku. Kau bilang kau tidak mencintaiku, lalu mengapa sekarang kau ingin kembali dan membawaku pergi bersamamu?"
"Karena aku menjadi serakah," aku Luigene dengan kepala tertunduk, "Setelah mengetahuinya, aku ingin membawamu dan anak kita, membangun keluarga kecilku."
Untuk kali ini saja, Luigene ingin menjadi serakah. Ia ingin memperjuangkan Sydney dan anaknya, ia ingin membawa mereka dan melindunginya.
Perannya yang tidak pernah ia jalankan selama delapan bulan ini, Luigene ingin membayarnya seumur hidup.
"Kau menginginkanku kembali karena anak ini, bagaimana jika ternyata dia bukan anakmu, apa kau tidak menginginkanku kembali?"
"Aku selalu menginginkanmu, namun aku juga tidak bisa merusak kebahagiaan keluarga kecil orang lain."
Sydney tertegun, ia tidak tau apakah Luigene tengah berbohong atau tidak namun hatinya memilih untuk mempercayai bahwa Luigene memang menginginkannya.
Membawa tubuh Sydney ke dalam pelukannya, "Maaf karena sudah membuatmu menunggu begitu lama."
Tangis Sydney kembali pecah, membalas pelukan pria yang sangat ia cintai. Di saat seperti ini, ia menjadi semakin egois. Ia tidak ingin menunggu lebih lama, detik ini juga Sydney ingin meninggalkan segalanya agar bisa bersama Luigene.
Yang ia inginkan hanyalah akhir yang bahagia untuk mereka berdua, untuk dirinya dan Luigene.
Sydney akan mengabaikan semuanya seperti yang ia lakukan sekarang. Larut dalam percakapan dan kerinduannya membuatnya bahkan tidak menyadari sebuah pesan masuk pada ponselnya.
Anaraya, aku tidak akan marah tetapi tolong segera hubungi aku jika kau sudah ingin pulang. Biar aku yang menjemputmu. Dan berhati-hatilah agar tidak ada yang memotret kalian.
Aku menunggumu pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Luigene: SECRET SENTINEL
Romance[COMPLETED] Kisah ini diambil dari surat-surat milik mantan Putri Mahkota Inggris, Sydney Anaraya dalam buku hariannya. Hingga saat ini tak ada yang tahu pasti keberadaan Putri Sydney setelah surat terakhirnya yang tak pernah selesai-meninggalkan n...