Penggalan XXXIV.

2.6K 262 15
                                    

          Langkahnya menyeret dengan berat dan penuh tanya, mengepal selembar surat barunya–apa ini akan menjadi surat terakhir tentangnya? Meski menyakitkan dan menyesakkan namun ia tidak pernah ingin berhenti menulis tentang pria itu, cintanya.

Sepotong hatinya seperti terkoyak, menyisahkan kekosongan yang begitu menyakitkan begitu membaca surat yang dipenuhi dengan tulisannya.

Rasanya seperti baru kemarin kami sedang membangun sesuatu yang indah, bata demi bata. Namun seiring perjalanan, bata yang kami bangun berubah menjadi tembok penghalang di antara kami.

Rasanya seperti baru kemarin kami berenang dalam kebahagiaan penuh cinta. Namun perlahan kami mulai terengah-engah, tidak mampu mencapai permukaan.

Rasanya seperti baru kemarin aku memberitahumu bahwa aku mencintaimu bersungguh-sungguh lebih dari apa pun di dunia. Namun hatimu justru berubah.

Semua ini bagai terjebak dalam siklus kekecewaan dan cengkeraman keputusasaan. Semua ini akhirnya kembali pada kata selamat tinggal–sebuah kata yang bisa menyelamatkan kita.

Meski berat namun aku harap kamu menemukan cinta lain yang layak dan mungkin suatu hari nanti, aku akan menemukan cinta dan kebahagiaanku juga.

Tiap bulir yang mengalir dari pelupuk matanya merupakan caranya untuk membungkus rasa sakit yang ia rasakan. Dadanya berdenyut dengan hebat seakan dikoyak paksa menggunakan belati tajam, meski tangisnya mengalir deras namun bibirnya terasa sangat keluh untuk mengeluarkan suara, bahkan tangisnya tak bersuara.

Perjalanan kali ini akan sangat panjang dan melelahkan, dengan hanya sepucuk surat dalam genggamannya sebagai teman. Entah apa tujuan akhir yang ia capai setelah melalui perjalanan ini–perjalanan yang membawanya pergi meninggalkan cintanya.

Keputusan untuk pergi bukanlah pilihannya, sejak awal ia tidak memiliki kesempatan untuk memilih. Namun melupakan adalah keputusan yang bisa ia pilih untuk meredam rasa sakit yang perlahan menggerogotinya.

Jika dengan hanya melupakan, maka ia bisa berdamai dan beranjak pergi, maka ia akan melakukannya.

Untuk pria itu, cintanya. Dan untuk dirinya.

Temukanlah cinta lain yang lebih layak untukmu. Mungkin suatu saat aku juga bisa menemukan cintaku. Selamat tinggal, Lui, cintaku.

────── Dear, Luigene ──────

Suara dengingan kardiograf yang memekakkan telinga, bersamaan dengan garis pada monitor jantung menunjukan irama jantung asistol membuat para tenaga medis dengan sigap memenuhi ruangan tempat di mana Sydney dirawat, sibuk memberikan tindakan resusitasi jantung begitu menyadari bahwa wanita itu mengalami henti nafas.

Situasi itu sukses menciptakan ketegangan, tidak hanya bagi tenaga medis namun juga keluarga yang menunggu di depan ruangan tempat di mana Sydney dirawat.

"Apa yang terjadi?" tanya Romeo tak mampu menyembunyikan kekhawatirannya berusaha untuk menerobos masuk menyusul para tenaga medis. Akan tetapi Darnley dan Shaleeya, ibu mertuanya saat itu dengan cepat menghalanginya. "Biarkan aku masuk dan melihat istriku!"

"Romeo," panggil Shaleeya memeluk tubuh menantunya berusaha untuk menenangkan, "Biarkan dokter melakukan tugasnya."

"Mama, apa yang terjadi? Mengapa mereka–apa yang mereka lakukan kepada istriku?"

Sama seperti Shaleeya, Romeo tak kuasa menahan air matanya sendiri. Ia memahami betul maksud dari suara yang ia dengar tadi, hanya saja, Romeo tidak ingin mempercayainya.

"Anaraya!" teriak Romeo memanggil nama istrinya, "Kau wanita kejam! Berani sekali kau meninggalkanku dan melepas semua tanggung jawabmu seperti ini!"

Bertepatan dengan itu pintu ruangan kembali terbuka membuat Romeo dan yang lain bisa mendengar suara nyaring yang begitu mereka benci.

"Anaraya! Anaraya!" teriak Romeo semakin histeris melihat beberapa dokter tengah berusaha melakukan defibrilasi. Kali ini Edward ikut menahan tubuh Romeo yang memberontak semakin gencar.

Tidak ada satu pun keluarga dari pihak Romeo yang hadir di sana untuk menemani Romeo, pria itu benar-benar sendirian. Hanya ada keluarga Sydney yang menemaninya. Sejak Egor menarik kembali restunya, saat itulah Romeo ditinggalkan.

Berhari-hari Romeo berada di rumah sakit, pria itu selalu berharap dan menunggu Sydney untuk bangun dari tidurnya. Namun yang ia dapatkan justru suara sialan yang merenggut setengah nyawanya.

Keadaan Romeo sudah cukup hancur, dan saat ini dirinya semakin hancur. "Apa kau sangat membenciku..." lirih Romeo, kini tenaganya sudah habis untuk memberontak. "Anaraya... dia sangat membenciku..."

"Romeo, dia masih bersama kita," Shaleeya berlutut mensejajarkan tubuhnya dengan Romeo, kembali memeluk tubuh menantunya erat, "Dia tidak akan pergi, nak." Mengusap puncak kepala Romeo, pria itu menangis sejadinya.

Sama seperti Romeo, semua orang di sana juga sangat terpukul. Hanya saja kesedihan pria itu tidak bisa lagi ia bendung. Namun mereka mengerti bahwa ada beban lain yang Romeo pikul ditambah pria itu sendirian, di saat seperti ini Romeo justru tidak mendapatkan pelukan atau dukungan dari keluarganya sendiri.

"Kita harus segera memindahkannya ke rumah sakit yang lebih baik," ujar Edward tampak gelisah membuka ponselnya berusaha mencari sesuatu.

Darnley menahan tangan pria itu dengan keputusasaan. "Ini rumah sakit terbaik di Rusia."

"Kalau begitu kita akan membawanya kembali ke Inggris! Putriku akan mendapatkan perawatan–"

"Edward, waktunya tidak tepat," potong Darnley, "Biarkan dokter bekerja dan tunggu hasilnya."

"Bagaimana aku bisa menunggu sementara putriku berada di ambang kematian!"

"Membawanya pergi sekarang tidak akan membantu."

Edward tertawa hambar, menatap Darnley tidak percaya–pria tua itu terlihat begitu tenang. "Kau terlihat begitu tenang karena dia bukan putrimu."

"Dia cucuku, Edward," Darnley menatap pria itu tajam.

"Salah satu cucumu," tegas Edward, "Sedangkan dia adalah satu-satunya putri yang kumiliki. Suara mesin sialan itu terus menggema, aku tidak bisa melihat putriku keluar dari ruangan itu dengan keadaan tak bernyawa."

Seakan tidak cukup dengan kekacauan yang tengah terjadi, Luigene yang saat itu baru saja tiba dan mendengar semua percakapan itu segera menerobos masuk tanpa memedulikan orang-orang di sekitarnya.

"Luigene!" teriak Edward marah tak sempat menahan aksi gila pria itu.

Sontak beberapa tenaga medis yang ada di dalam berusaha sekuat tenaga menahan Luigene untuk tidak mendekat, namun tenaga mereka tidak cukup kuat untuk menahan pria bertubuh besar itu.

"Sydney," panggil Luigene menangkup wajah pucat wanita itu, kulitnya terasa sangat dingin. "Sydney, bangunlah..." memeluk wajah itu tanpa memedulikan dokter yang sedang berusaha melakukan pertolongan.

"Buka matamu dan lihat putri kita, apa kau tidak ingin melihatnya? Dia sangat cantik sepertimu..."

Ucapan Luigene barusan sontak didengar oleh Edward dan juga Darnley yang menyusul masuk, membantu tenaga medis untuk menarik Luigene keluar.

"Putri kita?" wajah Darnley tampak tidak mengerti, menuntut penjelasan, "Siapa yang kau maksud sebagai 'putri kita', Luigene?"

Dear, Luigene: SECRET SENTINELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang