Tiga hari yang lalu Sydney terbangun di dalam apartemennya sendiri dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Luigene, pria itu benar-benar meninggalkannya.
Masih ia ingat dengan jelas semua yang terjadi sebelumnya, sebuah perdebatan kecil hingga ia kehilangan kesadarannya karena Luigene memasukan sesuatu ke dalam minumannya. Kepalanya bahkan masih terasa sedikit pusing saat tersadar.
Saat itu bahkan hingga detik ini, Sydney masih berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi.
Luigene meninggalkannya tanpa menyisahkan jejak sedikit pun, adapun yang pria itu tinggalkan hanyalah kenangan dalam ingatan Sydney.
Kejamnya, Luigene tak memberi cela untuknya menghubungi pria itu. Semua akses telah pria itu tutup termasuk dengan rumah yang sebelumnya mereka berdua tempati, rumah itu kini kosong tak berpenghuni.
Hari-hari yang pernah mereka lalui berdua bagai sebuah mimpi dalam ingatan Sydney. Ia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mencari kekasih yang telah mencampakannya itu. Berharap dalam keputusasaannya, pria itu akan kembali.
Namun nihil. Luigene tidak kembali, nyatanya pria itu benar-benar kejam, meninggalkannya.
Langkah gontainya membawa Sydney pada harapan terakhirnya, Romeo. Pria itu mungkin tau di mana Luigene. Jika perlu Sydney akan memohon agar Romeo mau memberitahunya.
"Putri Sydney?" sambut seorang pelayan pria yang sedikit terkejut dengan penampilan Sydney yang baru saja tiba di mansion milik Romeo. "Apa yang terjadi dengan Anda?"
Wajah Sydney sudah terlihat sangat pucat dengan mata yang memerah sedikit sembab. Penampilannya cukup beratakan, berbeda dengan penampilan Sydney biasanya.
"Di mana Romeo?"
"Yang Mulia sedang beristirahat di perpustakaan, beberapa waktu yang lalu beliau meminta untuk tidak seorang pun masuk mengganggunya."
"Beritahu Romeo tentang kedatanganku, ada yang harus dibicarakan."
"Anda bisa duduk dan menunggu di sini," segera membantu Sydney untuk duduk. "Saya akan berusaha untuk memberitahu Yang Mulia."
Sejujurnya, pelayan itu ragu untuk menemui Romeo mengingat pesan yang pria itu sampaikan sebelumnya. Akan tetapi, ini menyangkut Putri Sydney, tunangannya. Selama ini Romeo selalu menganggap segala hal yang berhubungan dengan Sydney adalah penting. Melihat bagaimana kondisi Sydney saat ini, tentu Romeo akan mencemaskannya, bukan?
"Yang Mulia," terdengar begitu pelan memanggil Romeo yang tengah beristirahat di perpustakaan. Pelayan itu menggunakan semua sisa keberanian yang ia miliki.
"Apa perintahku kurang jelas sebelumnya?" sambut Romeo dengan pertanyaan tajam.
"Maafkan saya, Yang Mulia." Tanpa menatap ke arah Romeo, pelayan itu hanya berharap bisa keluar dari ruangan itu dengan kepala yang utuh. "Putri Sydney berada di bawah, meminta untuk bertemu dengan Anda."
"Tolak saja," ujar Romeo tanpa berpikir panjang. "Aku sedang tidak ingin menerima tamu."
"Tapi keadaannya–"
"Kau tau aku tidak suka mengulang ucapanku, bukan?" tanya Romeo dingin. "Kalau perlu usir, aku tidak sedang ingin bertemu dengan siapa pun."
Pelayan itu tidak bermaksud mencampuri urusan dan permasalahan mereka. Hanya saja, ia takut Romeo salah mendengar ucapannya karena pria itu tak pernah menolak kedatangan Sydney sebelumnya.
"Baik, Yang Mulia."
Tak dipungkiri, pelayan itu masih menyayangi nyawanya. Membuat Romeo harus mengulang perintahnya bukanlah sesuatu yang baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Luigene: SECRET SENTINEL
Romance[COMPLETED] Kisah ini diambil dari surat-surat milik mantan Putri Mahkota Inggris, Sydney Anaraya dalam buku hariannya. Hingga saat ini tak ada yang tahu pasti keberadaan Putri Sydney setelah surat terakhirnya yang tak pernah selesai-meninggalkan n...