Pagi-pagi sekali Luigene sudah berada di cafe langganannya yang selalu ia datangi setiap harinya untuk duduk menulis laporan hingga sore atau malam, kebiasaan ini sendiri sudah ia lakukan selama kurang lebih enam bulan.
"Satu cangkir espresso, seperti biasa," pintanya langsung menghampiri barista perempuan yang selalu membuat pesanannya.
Luigene memang tak perlu repot mengantri panjang, ia akan mendapatkan pesanannya secara instan mengingat dirinya sudah menjadi pelanggan tetap cafe ini.
Wangi biji kopi dan suara mesin kopi membuat Luigene selalu berandai seberapa pahit kopinya nanti.
Ah iya menyukainya, pikirnya.
Tak memerlukan waktu lama pesanannya jadi dan barista itu sendiri yang memberikannya. Luigene mengangkat gelasnya ke arah barista tersebut sebagai tanda terima kasih sebelum duduk kembali pada kursinya.
Tanpa melihat ke dalam gelasnya, Luigene begitu percaya diri meminum apa yang barista itu berikan hingga dahinya berkerut heran, alis tebal miliknya bahkan hampir menyatu.
Sebelumnya, barista ini tak pernah salah membuat pesanan miliknya karena ia selalu memesan minuman yang sama.
Tapi, apa ini...
Luigene kembali bangkit menghampiri barista tadi berniat untuk melayangkan protes kecilnya, "Maaf Nona, ini cokelat hangat bukan espresso."
"Kami tidak menjual espresso," jawab barista itu tak acuh, tampak sibuk dengan beberapa cangkir kopi.
"Oh ya? aku selalu memesan espresso di sini."
"Tidak ada espresso lagi untukmu, Lujin." Barista itu terlihat sedikit terganggu hingga menegaskan nama Luigene dengan pelafalan yang salah.
"Luigene," koreksi Luigene mengangkat sedikit ujung bibirnya, "Kalau begitu bisa aku bertemu dengan atasanmu? Aku harus protes karena pesananku salah."
"Aku bosnya Lujin, kembalilah ke tempat dudukmu jika kau memiliki banyak waktu luang," Kali ini perempuan dengan rambut blonde itu berkacak pinggang, "Kau tidak lihat? Aku sedang sibuk, cafe ini ramai maka dari itu duduk dan minumlah cokelat hangatnya."
"Cokelat itu hanya akan membuatku mengantuk dan diabetes," protesnya dengan suara kecil tetapi tetap menurut dan kembali ke tempat duduknya.
Meski begitu Luigene tetap tidak menyentuh cokelat hangatnya dan hanya memperhatikan uap panas yang keluar dari cokelat hangat tersebut, hingga akhirnya barista berambut blonde tadi kembali datang menghampirinya.
"Astaga itu hanya cokelat hangat bukan racun," kata perempuan itu sedikit kesal sambil menarik kursi yang ada di hadapan Luigene.
"Bukankah kau sedang sibuk? Sedang apa di sini?" tanya Luigene melihat badge nama yang tertempel pada celemek perempuan itu, Sydney.
"Aku sudah mendapat bantuan," Sydney membuka ikatan rambutnya cuek sehingga rambut blondenya tergerai begitu saja, "Dan sekarang aku memastikan jika kau meminum habis cokelat hangat itu."
"Kenapa tidak ada espresso untukku?" tanya Luigene lagi, tak terima seperti anak kecil yang memprotes.
Sydney menarik nafas begitu panjang, hal ini membuat Luigene hapal jika setelah ini perempuan itu akan mengomel panjang lebar.
"Setiap hari kau kemari dan duduk di sini hingga cafeku tutup sambil meminum empat cangkir espresso, aku tidak ingin suatu saat kau mati di cafeku karena terlalu banyak meminum espresso," jedanya untuk meraup oksigen, "Tidak ada manusia yang mengkonsumsi empat cangkit espresso setiap harinya, Lujin! Apa lambungmu baik-baik saja?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Luigene: SECRET SENTINEL
Romance[COMPLETED] Kisah ini diambil dari surat-surat milik mantan Putri Mahkota Inggris, Sydney Anaraya dalam buku hariannya. Hingga saat ini tak ada yang tahu pasti keberadaan Putri Sydney setelah surat terakhirnya yang tak pernah selesai-meninggalkan n...