Toronto, musim dingin di bulan kedua.
Napas Judith tersengal tepat ketika dia terbangun dari tidur dalam keadaan basah kuyup oleh keringat. Judith merapatkan diri dibalik selimut bersama dengan guling putihnya, kemudian menyandarkan tubuh pada punggung tempat tidur. Pemanas ruangan benar-benar bekerja dengan baik sehingga Judith tidak merasa kedinginan sedikitpun. Sebaliknya, ia sangat merasa gerah dan ingin mandi. Jantungnya masih berdetak tidak karuan, sangat tidak nyaman dengan mimpi yang barusan datang di tidurnya. Padahal, Judith ingat kalau ia sudah merapalkan doa sebelum tidur, namun tetap saja, mimpi buruk itu sudah terasa seperti siklus tetap yang datang dikala ia terlelap.
Kedua tangan Judith mengusap wajah yang juga terasa lembab, pikirannya benar-benar kacau. Dialihkannya tatapan pada dinding kamar untuk melihat jarum jam. Helaan napas panjang Judith terdengar, dia segera menyingkap selimut putih yang tengah memeluk tubuhnya dan berjalan menuju meja belajar. Macbooknya masih setia memutarkan musik lullaby yang cukup membantunya untuk dapat jatuh dalam tidur.
Sebelum mengecek tugas jurnalnya, Judith mengambil segelas air putih yang memang ia sediakan sebelum tidur. Pikirannya perlahan mulai terbuka seiring dengan air yang ia teguk. Deadline jurnalnya akan jatuh siang ini, beruntung Judith hanya harus merangkum sebuah kesimpulan dan menambahkan beberapa catatan kaki. Besok sebelum kelas, Judith hanya tinggal pergi ke perpustakaan kampus untuk mengembalikan semua buku refrensinya.
Bagi Judith, hanya kesibukan seperti inilah yang akan membuatnya lupa dengan segala tetek bengek masa lalu yang menyesakkan. Semuanya sudah cukup lama berlalu, namun ikatan kencang dari tali masa lalu tidak serta merta melepaskan Judith dengan mudah. Dia sudah melewati banyak hal, mencoba belajar dari setiap momen yang terjadi dalam hidupnya dengan harapan dapat melupakan setiap luka terpendam di hari itu. Namun kenyataan menyakitkannya adalah, Judith masih terbayang dan dikejar oleh perasaan menyesal.
Helaan napas kasar Judith terdengar lagi, dia berusaha mengusir semua energi negatif di sekitar. Dinyalakannya lampu di atas meja belajar, kemudian membuka file tugas dan mengambil buku refrensi untuk jurnalnya. Judith terlihat serius, walau sesekali terlihat asik dengan ponsel entah untuk mencari refrensi lain atau membalas chat dari teman-teman yang selarut ini juga tengah bergadang bersama jurnal mereka. Satu pesan lagi-lagi Judith terima dari seorang teman pria, tanpa berpikir lama Judith langsung saja membalasnya.
Judith baru saja meletakkan ponselnya lagi, membiarkan jarinya menari di atas keyboard macbook. Tetapi tidak lama ponsel Judith berdering kuat sampai ia sendiri terperanjat. Diliriknya caller id penelepon, mengernyit bingung sembari menjangkau lagi ponselnya. Judith berdiri, berjalan menuju tempat tidur sembari menggeser layar ponsel untuk menerima panggilan yang masuk.
"Iya, halo?" sapa Judith lebih dulu untuk mengawali percakapan. Jantungnya sedikit tidak tenang, tapi Judith juga cukup penasaran mengapa ia dihubungi di pukul 3 pagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Like Yesterday
General FictionPART MASIH LENGKAP! "Mungkin, pada dasarnya kita hanya datang untuk kembali berkata hendak pergi. Kamu itu layaknya rasi bintangㅡtidak selamanya terang, tidak selamanya indah. Mungkin sekarang saatnya untuk berkata sudah." Judith Aluna, terkait Ori...