Pemandangan baru dari salah satu bangku kereta yang melaju kencang meninggalkan pusat Kota Toronto, dimana Judith dengan scarf putih yang melingkari lehernya tampak tertawa lepas bersama Rion karena pria itu menceritakan guyonan tentang kehidupannya di Yogyakarta. Keduanya tampak baik-baik saja hari ini karena berhasil menyembunyikan luka milik masing-masing dengan cara yang baik. Apapun yang terjadi besok, setidaknya mereka masih dapat tersenyum indah hari ini.
Tawa Judith masih belum berhenti, bahkan tangannya ikut memukul-mukul paha karena tidak kuat mendengar cerita Rion soal Fatur dan Zora—dua konconya di kampus. Untung saja gerbong mereka tidak begitu ramai dan sepertinya penumpang lain tidak begitu mempermasalahkan tawa Judith—mungkin hampir tidak peduli juga karena merekapun larut dengan urusan masing-masing mereka. Judith menetralkan tawa seraya menyentuh dadanya agar segera tenang. Tangan perempuan itu menerima uluran botol air mineral dari Rion dan meneguknya dengan segera.
"Udah, ah, capek!" ujar Judith setelah menghabiskan setengah botol air minum dan mengembalikannya pada Rion. "Temen kamu ngaco dua-duanya, kalau bangun kaya tom and jerry giliran tidur satu kasur malah pelukan." Judith kembali tertawa, dia benar-benar akan meminta maaf kelak ketika bertemu dengan Fatur dan Zora karena sudah tertawa seperti ini.
"Makanya aku suka khawatir kalau lagi ke desa-desa terus harus tidur bareng mereka."
"Ngomong-ngomong, udah banyak desa yang kamu datengin selama jadi relawan?"
Rion mengangguk dengan senyum tipis tergores di wajah gantengnya. "Lumayan," jawabnya dengan suara lembut sembari membayangkan indahnya setiap desa yang telah dikunjungi. "Setiap ketemu warga desa, aku selalu ngerasa pulang. Bisa ngobrol dan bantu-bantu, apalagi kalau udah bareng bapak-bapak di sana, rasanya kaya lagi bareng ayah. Anak-anak kecilnya juga, jadi obat kangenku ke Araz."
Judith ikut tersenyum, dia merasa bersyukur karena detik ini berada di dalam kereta yang akan membawanya ke tempat istimewa. "Makasih ya karena udah mau ngajakin aku pergi bareng kamu. Aku jadi nggak nyesel karena udah skip kelas, soalnya ini beneran kali pertama buat aku ke tempat kaya gini selama di Kanada. Sebelumnya mana pernah, yang aku kenal cuma apartemen sama kampus. Apatis banget, ya?"
"Iya," angguk Rion dengan ekspresi mengejek.
"Heh!" balas Judith karena Rion mengiyakan.
"Yakan emang bener?"
"Ya bener, sih, tapi nggak usah diiyain."
"Kamu ngarep aku bilang nggak apa-apa? Nggak mau."
"Loh kok jadi nyebelin!"
Judith menepuk pelan bahu Rion dan disambut pria itu dengan tawa bersahabat. Rion jelas sekali sedang berbahagia, bagaimana mungkin dia tidak bersyukur terhadap keajaiban di hari ini. Tepat di bawah langit Kota Toronto yang biru cerah, dia mendapati dirinya bersama Judith tengah bersenda gurau persis seperti bertahun-tahun lalu. Obrolan semacam ini kerap mereka lakukan di mobil dulu, saling melempar argument dan pada akhirnya akan sama-sama mengalah karena pemenangnya tidak ditemukan. Mana Rion tahu kalau skenario semesta akan membawanya kemari, sejauh ini, bersama orang yang sama walau status mereka sudah berbeda.
"Lun, kita di sana pasti sampai sorekan, kira-kira enak makan malam dimana, ya? Aku yang traktir kamu, deh."
"Serius kamu? Makanku banyak kalau malem."
"Bohong?"
"Beneran, Bang Jago."
Rion menggeleng, malah jadi dia yang mengatur. "Yaudah, aku pesenin makanan yang banyak awas ya kalau nggak abis."
"Ya yang kamu pesenin jangan rumput-rumputan itu mah makanan Teh Bia."
"Eh nggak boleh gitu!" Rion mengingatkan dengan wajah serius walau dibarengi dengan tawa menggemaskan. Mereka sama-sama tahu kalau Abiana adalah seorang model yang begitu ketat terhadap porsi dan menu makanannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/198453879-288-k735672.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Like Yesterday
Fiksi UmumPART MASIH LENGKAP! "Mungkin, pada dasarnya kita hanya datang untuk kembali berkata hendak pergi. Kamu itu layaknya rasi bintangㅡtidak selamanya terang, tidak selamanya indah. Mungkin sekarang saatnya untuk berkata sudah." Judith Aluna, terkait Ori...