“Kalau pada akhirnya langkah kaki yang terpaksa kita bawa berjauhan memang harus kembali semesta singgungkan, maka apa boleh dikata? Karena akan ada hal yang enggak bisa dicerna logika dan pada akhirnya hanya harus diterima."
♪ ♪ ♪
Kawasan Venice berjarak sekitar 25 menit dari Indigo Hotel tempat dimana Judith dan keluarga menginap. Aldric memang memutuskan menyewa mobil untuk seminggu ke depan demi kemudahan mereka mengarungi sebagian tempat di California. Beruntung memang karena ada rute tercepat dengan lalu lintas normal yang bisa dilalui. Judith yang menginginkan agar mereka dapat menyegarkan pikiran sebelum makan malam yang terbilang penting nanti malam.
Orang-orang berselancar, anak-anak kecil bermain pasir dan membangun istana indah impian mereka, pasangan-pasangan yang tampak bahagia mengambil gambar berdua, keluarga kecil yang terlihat hangat. Di dekat boardwalk yang berada di tepian pantai, terdapat banyak hiburan yang seharusnya menjadi perhatian Judith pula. Lapangan basket yang paling terkenal di LA dipenuhi muda-mudi yang sibuk memantul dan melambungkan bola kesana kemari. Lapangan skateboard ramai diisi oleh pemuda asik yang rela jatuh berulang kali kemudian bangkit lagi. Sementara tempat gym terbuka dihuni oleh pria yang berlomba untuk membentuk otot mereka agar terlihat lebih mengagumkan. Semuanya ribut. Hiruk pikuk jelas disana sini. Los Angeles adalah sebuah surga yang dapat membutakan banyak kepala. Canda tawa terdengar bergantian bagai kicau burung tak berkesudahan.
Tetapi semua pemandangan itu, tidak satupun yang dapat menarik perhatian Judith. Gadis manis dengan dress musim panas berwarna kuning itu tengah asik berpacaran bersama indahnya matahari yang hendak tenggelam. Ia duduk diam di atas pasir pantai putih Venice yang lembut. Kedua manik matanya lurus melihat ke depan, memandang jauh hingga ke horizon, menatap perbatasan cakrawala dengan mata telanjang sembari merasakan angin sore yang lembut menyapu wajahnya. Dia terlampau disihir oleh indahnya suasana. Menakjubkan karena masih dapat menikmati pemandangan semacam ini.
"Judith lagi liatin apa?" Kedatangan mama, papa, dan Bia membuat lamunan Judith berhamburan. Dia tersenyum menyambut es krim dengan topping buah pisang yang dibawakan oleh papanya. "Judith nggak apa-apa?" Suara papanya terdengar lagi.
Judith diam, dia menggeleng perlahan sembari memperhatikan papa yang mengambil tempat di sebelah kirinya, sedang mamanya dan Bia di sebelah kanan. "Mikirin apa lagi, sih, Judith? Racha?"
"Apa, sih, Teteh." Judith mengabaikan gelak tawa Bia dengan lanjut mencicipi eksrimnya yang nikmat.
"Judith ada hubungan sama Racha?" tanya Nadine mendadak setelah sejak semalam wanita itu memilih untuk tutup mulut soal pria Yogyakarta yang terlihat akrab dengan putri bungsunya. Tangan Nadine merangkul kedua putrinya untuk didekap dengan hangat. Bukannya Nadine tidak menyukai Racha, sebab itu tidak benar sama sekali. Sikap dinginnya yang mendadak keluar untuk pria muda itu disebabkan oleh faktor lain; ketakutan yang berlebihan. Wajar rasanya sebab Nadine adalah seorang ibu, melihat anaknya hanya disakiti oleh pria asing tentu saja membuat raga beserta jiwanya tidak terima dan bahkan ikut tersakiti pula. Nadine hanya ingin putri-putrinya tetap dapat ia lindungi dengan caranya sendiri, Nadine mohon maaf saja walau caranya terkesan menyakiti orang lain, namun bagi Nadine harus anak-anak perempuannya yang menjadi prioritas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Like Yesterday
General FictionPART MASIH LENGKAP! "Mungkin, pada dasarnya kita hanya datang untuk kembali berkata hendak pergi. Kamu itu layaknya rasi bintangㅡtidak selamanya terang, tidak selamanya indah. Mungkin sekarang saatnya untuk berkata sudah." Judith Aluna, terkait Ori...