♪ : BAB 6

2K 298 46
                                    

Rion menghempaskan karung berisi pasir dan kerikil yang tengah ia pikul, berkumpul bersama tumpukan karung yang lain di atas rerumputan hijau. Keringat bergulir di permukaan dahinya, turun terus hingga ke pipi sampai menyentuh dagu. Rion terlihat kelelahan, namun ia tahu bahwa tugasnya belum selesai. Dia melangkah lagi menuju pick up putih dimana ada beberapa karung yang masih tersisa.

"Orion!" panggil seseorang sehingga Rion sontak menoleh, dilihatnya Ayura dengan sebotol minuman yang masih disegel. Perempuan itu mendekat, tersenyum dengan raut tidak enak. "Istirahat dululah, Yon, anak-anak yang lain juga lagi pada istirahat makan. Cuma kamu yang masih tahan buat kerja."

Rion diam, mengatur napasnya dan menyeka keringat di dahi. "Iya, sebentar lagi aku gabung."

"Nih." Ayura mengulurkan minuman yang ia bawa, lantas tersenyum ketika Rion menerimanya.

"Makasih, Ra," kata Rion sembari membuka segel minumannya dan memutar botolnya. Dia menoleh ke sekitar, menemukan gundukan batu dan pergi ke sana untuk duduk sebentar. Diteguknya cepat cairan tersebut, sampai tubuhnya sukses merasa bertenaga lagi. Sisa dari air tersebut ia tuangkan ke kepala, membiarkan rambutnya basah sehingga tengkoraknya jadi lebih segar. Siang terik seperti ini memang bukan sebuah pilihan yang baik untuk bekerja. Matahari sedang gagah-gagahnya di langit, seakan memberitahu umat bumi bahwa moodnya sedang bagus.

Rion beranjak dari batu tersebut, kemudian berjalan meninggalkan terik menuju pendopo dimana teman-temannya sedang berkumpul sembari menikmati hidangan pembuka makan siang. Dalam keadaan berkeringat, Rion tahu bahwa ia sangat tidak sopan apabila langsung bergabung dengan teman-temannya. Namun apa boleh buat, memilih pulang ke rumah warga desa yang letaknya 15 menit apabila berjalan kaki juga tidak mungkin. Toh, beberapa dari temannya juga ada yang masih bertahan dengan baju dekil mereka.

Di antara Zora dan Fathur, Rion duduk sembari meletakkan botol minum pemberian Ayura. Hati pria itu terlihat tidak baik sepertinya, tampak dari gelagatnya yang lesu. Padahal, Zora dan Fathur adalah salah dua teman baik yang mampu membuat keadaan Rion baik selama di sini.

"Yon, tuh ubi goreng dimakan," ucap salah satu temannya dari sudut pendopo.

Zora yang merasa kalau ubi tersebut berada lebih dekat dengannya, langsung saja menggesernya ke dekat Rion. Zora memberi kode gerakan dengan dagu, bermaksud supaya Rion memakannya segera. "Kerja bagai kuda mulu lo, Pak," ucap Zora sambil geleng kepala.

Sudah dua hari, Rion bersama dengan semua anggota keorganisasian kampusnya berkunjung ke salah satu desa di lereng merapi. Semenjak berada di lingkungan mahasiswa, Rion sempat mendaftar menjadi badan eksekutif mahasiswa. Toh, dia tahu tidak akan sulit menembus BEM kampus mengingat CV-nya lumayan baik dan tentu akan dipertimbangkan. Tetapi ketika semester kian naik, Rion memutuskan untuk mengundurkan diri karena ia memiliki keinginan yang lain. Rion tiba pada fase bosen, sebab ia sadar ada hal penting lain yang bisa ia lakukan sebagai manusia---bukan hanya sebagai mahasiswa.

Rion mengundurkan diri dari BEM, kemudian bergabung pada salah satu organisasi kerelawanan sejak lima bulan lalu. Rion sadar bahwa ia tidak bisa terlalu sibuk dengan urusannya lagi. Ada banyak yang sudah terlepas darinya semenjak ia begitu gila akan kesibukan dunia kampus yang tentunya sangat berbeda dari SMA. Lalu Aras, menjadi alasan mengapa Rion memilih untuk berjiwa lebih besar pada sekitar. Ini bukan untuk dirinya, melainkan untuk orang-orang yang ia sayang dalam hidupnya, terutama si cantik Aras yang Rion yakini tengah tersenyum manis dari surga sana.

Sepulangnya mereka nanti ke kota, Rion akan langsung mencari info untuk menjadi relawan di salah satu tempat khususnya bagi anak-anak penderita kanker. Dia ingin dekat dengan orang-orang yang dapat memberikannya sosok Aras. Setidaknya, hanya dengan begitu ia dapat membalas waktu-waktu yang hilang bersama Aras dulu. Walau Rion cukup sadar, bahwa itu tidak akan pernah setimpal, tetapi setidaknya dia tetap mencoba.

Just Like YesterdayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang