"Rasanya, hal-hal yang enggak masuk akal sekalipun jadi berasa mudah dilakuin kalau lagi jatuh cinta."
♪ ♪ ♪
Suasana di dalam mobil hening sejak mereka pulang dari Rogers Centre. Rasanya, oksigen di sekitar Judith baru terasa ketika mobil berhenti di depan gedung apartemennya. Judith menekan kedua bibirnya karena merasa masih belum stabil. Dia takut apabila setelah ini Racha memperlakukannya berbeda sebab perbuatan tiba-tiba tadi.
"Judith, enggak mau turun?" Judith terkejut. Dia menoleh dan masih belum dapat berpikir dengan baik. Lima detik kemudian, Judith akhirnya mampu mengangguk walau kaku. "Kamu mikirin apa, Dith?"
Senyuman yang Racha tunjukkan kian membuat Judith mengutuk diri. Lesung pipi pria itu rasanya ingin Judith sentuh dengan telunjuknya. "Eh? Enggak."
"Mikirin yang tadi, ya?" Racha tahu. Tidak sulit untuk pria itu menebak alasan mengapa perilaku Judith berubah hingga 180 derjat. Racha gemas sebetulnya, tetapi di sisi lain ia juga merasa bersalah walaupun ini semua terjadi di luar kendalinya. Seharusnya, dia tidak mengajak Judith untuk kemari dan membiarkan gadis itu ketakutan perihal sorotan kamera tadi.
Racha mengubah posisi duduknya jadi serong sedikit agar lebih nyaman memandangi Judith yang masih diam. Racha berpikir sesaat sebelum bersuara, takut apabila nanti kata-katanya malah salah. Racha mencoba lebih dulu, dia mulai menatap Judith yang pada awalnya enggan membalas untuk melihat pada manik matanya. Namun Racha bertahan, sampai Judith membalas dan manik indah mereka bertemu.
"Aku minta maaf, ya," kata Racha setelah cukup lama. "Seharusnya aku bawa kamu keluar tadi. Kamu pasti nggak mau ya nonton baseball bareng aku lagi?"
Judith menggeleng lemah, "Maaf buat apa? Harusnya kan aku yang minta maaf."
"Terus kamu juga minta maaf buat apa?"
"Karena ci ... cium kamu tiba-tiba." Judith menghindari tatapan Racha yang kian dalam padanya. Tanpa sepengetahuan Judith lagi, Racha tersenyum manis kembali persis seperti setelah Judith menciumnya tadi. "Aku aneh banget ya, Cha, jadi cewek? Kamu ilfeel, ya, pasti."
Racha menggeleng, "Dith, dengerin aku dulu, ya?" Tiba-tiba jantung Racha berdetak lebih cepat sebab ia akan mulai berbicara jujur. "Tadinya di Rogers Centre, aku sempet pengen lancang ke kamu. Aku pengen lakuin hal tadi duluan, tapi kalah cepet sama kamu. Not on your lips, but here, right on your forehead." Racha menyentuh dahi Judith lembut walau sesaat, sebab dia tidak ingin ada skinship yang terlalu lama di antara mereka.
Judith menunduk, menahan senyum karena Racha yang teramat manis. "But I kissed your jawline, Cha."
"Yes, you did. Tapi aku nggak mikir kalau kamu aneh, Judith."
"Aku cuma takut kita jadi awkward kedepannya."
"Kamu, kan? Aku enggak. Malah tadi aku tawarin buat mampir ke toko donat, tapi kamu diem nggak kasih jawaban apa-apa."
Judith mencibir lucu, kemudian meluruskan badannya ke depan seraya menyandar pada punggung jok mobil. Dia lega juga akhirnya. "Udahlah, udah hilang mood sama donat. Di kamar Rizzy nanti mungkin ada makanan. Eh tapi...," Omongan Judith terhenti. Helaan napas berat lolos dari mulutnya. Rizzy tentu saja akan cerewet meminta penjelasan soal tadi. Manusia bocor itu tidak akan berhenti sampai Judith memberikan jawaban seperti keinginannya.
"Kenapa?"
Judith menyalakan ponsel, mengulurkan benda pipih itu pada Racha. "Kamu baca aja sendiri."
Racha menerima, lantas melotot menahan tawa membaca pesan dari Rizzy dan melihat balasan Judith hanya berupa stiker kartun sedang marah. "Mau aku temenin masuk? Atau biar aku yang ngomong sama Rizzy nanti."
"Nanti kamu pingsan ditanya-tanyain dia. Anaknya kamu tau sendiri gimana, Cha. Nggak apa-apa, aku udah biasa ngadepin gilanya Rizzy sendirian."
Racha tersenyum entah untuk yang keberapa kali hari ini. Tampaknya pria lembut itu benar-benar bahagia hari ini, sehingga tidak sulit lengkung sabit lolos dari bibirnya. "Kalau misal Rizzy beneran ngadu ke papa dan kakak cowok kamu, aku yang bakal jelasin ke mereka."
"Jelasin apa?" balas Judith sedikit sebal. "Kalau aku yang tiba-tiba cium kamu? Iya bilang aja, abis itu paling aku diceramahin sampai lebaran tahun depan."
"Rizzy nggak punya bukti fotonya, kan?"
"Racha!!" Judith kian merengek sebal karena Racha terkesan bercanda sejak tadi.
"Aku serius, Judith. Asalkan Rizzy nggak punya fotonya, ya aku bisa bilang kalau aku duluan yang lancang cium pipi merah kamu. Sederhana, kan?"
"Kalau kamu malah dimarahin papa sama A Abi, gimana? Terus kamu ditanyain alasannya sampai kamu nggak bisa jawab lagi."
Racha mengedikkan bahu, dia tampak pura-pura berpikir. "Kayanya papa sama kakak kamu bukan tipe orang yang kayak gitu. Ya tapi kalau emang ditanyain, aku tinggal jawab kalau aku gemes sama kamu."
"Loh? Gemes emangnya boleh dijadiin landasan buat kamu cium aku?"
Racha diam, dilihatnya Judith sedang tertawa sebab merasa menang pada argumen mereka. Judith menegakkan punggung, tersenyum manis pada Racha yang tampaknya masih pusing mencari alasan kalau-kalau nanti ia ditanya oleh papa dan kakak lelaki Judith---Aldric dan Abi. "Udah tenang aja, Rizzy mungkin bakalan ngadu ke papa tapi yang pasti enggak sekarang. Yang pasti dia bakalan pakai kartu itu buat nyerang aku, terus ketawa-ketawa happy liat muka kesel aku. Aku juga nggak ngerasa beban kok kalau nanti harus jelasin ke papa dan A Abi semua tentang kamu. Yang buat aku males tuh kalau Rizzy nanti cerewet nanya-nanyain aku." Judith diam sebentar, berpikir haruskah ia menutup pertemuan mereka dengan ucapan manis. "Cha, aku bahagia banget hari ini. Makasih, ya. Aku masuk dulu, kamu hati-hati nyetirnya. Oh iya satu lagi, aku tetep bakalan mau kok kalau kamu ajakin liat Blue Jays lagi."
Judith melambaikan tangan. Membuka pintu mobil sebelum Racha sempat merespon perkataan panjangnya. Dilihatnya gadis yang masih mengenakan kaus biru Blue Jays itu menghilang dibalik pintu gedung apartemen. Racha mengingat kembali ucapan Judith, "Cha, aku bahagia banget hari ini." Rasanya, Racha ingin jungkir balik karena bahagia. Tapi dia tidak melakukannya, melainkan tetap tenang di kursi kemudi seraya tertawa ringan. Jemari Racha bergerak mengacak rambut, kemudian berpindah pada rahangnya sembari memutar dan merasakan kembali momen di Rogers Centre.
♪ s p a c e ♪
[Selasa, 31 Desember 2019]
Lagi lagi, akhir tahun 2019 masih berkutat bersama keluarga Aldric hehe!! Semoga kalian terus suka dan sayang. Semoga kita bisa sama sama setia, ya!😙✨🖤
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Like Yesterday
General FictionPART MASIH LENGKAP! "Mungkin, pada dasarnya kita hanya datang untuk kembali berkata hendak pergi. Kamu itu layaknya rasi bintangㅡtidak selamanya terang, tidak selamanya indah. Mungkin sekarang saatnya untuk berkata sudah." Judith Aluna, terkait Ori...