♪ : BAB 49

1.1K 189 118
                                    

Judith mematikan layar ponselnya setelah membalas pesan dari Rion. Dia masih menggunakan ponsel sekarat itu untuk bertukar pesan dengan beberapa orang sembari menunggu kedatangan Rizzy bersama kopi pesanannya. Judith menyisir sekitar, melihat lalu lalang para manusia yang silih berganti datang. Suasana bandara tidak pernah tidak ramai, selalu saja ada yang datang, pergi, pulang, bahkan melarikan diri.

"Gue kayanya masuk ke bagian melarikan diri, deh," kekeh Judith terdengar menyedihkan. Dia bahkan belum mengabarkan teman-temannya dan malah pergi ke Yogyakarta, dapat Judith pastikan kalau dia akan dicerca tanpa hati ketika konco-konconya itu tahu.

Ponsel perempuan itu bergetar lagi, balasan dari Rion terpampang di layar yang sedang sakit itu. Dan Judith secepatnya membuka pesan tersebut.

Rion Arjuna: Aku jemput, ya, Lun.
Rion Arjuna: Kira-kira kamu sampai di sini jam berapa, ya?

Judith Aluna: Nggak tau, nih, males ngitung.

Rion Arjuna: Rizzy udah dateng? Kalau udah suruh dia yang ngitungin.

Judith Aluna: Iya niatnya juga gitu, sih.
Judith Aluna: Ngapain capek-capek mikir, kan ada Rizzy.

Judith tertawa kecil membaca pesan tersebut, dia juga tidak lupa mengirimkan stiker tertawa pada Rion agar terlihat lebih ekspresif. Tetapi ketika melanjutkan obrolan tersebut, mendadak ada sesuatu yang mengusik Judith. Perempuan itu sedang menunduk, ia mengenakan bucket hat berwarna cream dan masker. Sedikit mengkhawatirkan kalau ada yang mengenalnya di tempat ramai seperti ini. Namun nyatanya, seseorang memang benar-benar berhasil mengenalinya.

Sepasang sepatu converse putih yang dari beberapa detik lalu berada tepat di depan sepatu vans kesayangan Judith. Jantung si cantik yang belum berani mendongak itu seakan meloncat cepat dari tempatnya. Ia mengenal converse tersebut karena tepat di bagian depan sepatu ada tanda tangan miliknya yang ia toreh beberapa bulan lalu. Judith tidak lagi mengetikkan pesan, dia bahkan menggenggam erat ponsel sekaratnya sembari berdoa dalam hati kalau situasi ini hanya mimpi belaka.

"Kenapa pakai hape itu?" Tuhan, suara itu....

Judith menahan air matanya agar tidak mendobrak sisi pertahanan yang sedang ia buat.

"Judith," panggil pemilik suara itu dengan lembut. "Ini kopinya."

Sementara Judith, ia lebih baik pingsan daripada harus mendongak dan membiarkan dirinya dibunuh lagi oleh beribu perasaan bersalah pada pria yang sedang menunggu jawabnya.

s p a c e

"Atas nama Rizzy!"

Racha yang sedang mengecek berita melalui iPad-nya sontak mendongak. Matanya tajam melihat sekitar dan menemukan seorang pria tenga santai berjalan menuju counter barista. Racha mematikan iPad-nya, berdiri tergesa dan langsung mengejar Rizzy sebelum pria itu hilang dari pandangannya. Tepat ketika berada di belakang punggungnya, Racha langsung menyentuh bahu pria itu sehingga Rizzy sendiripun sontak membalikkan badan.

Rizzy melotot, persis seperti manusia yang melihat setan di siang bolong. Bagaimana tidak, bertemu dengan Racha, di Jakarta, di bandara pula, dan tepat di salah satu gerai café. Rizzy bahkan menampar kuat pipinya sendiri dan berteriak mengaduh karena ulah bodohnya.

"Beneran bukan mimpi," ujarnya pelan.

"Judith dimana?" tanya Racha mengabaikan tingkah bodoh pria di hadapannya.

"Judith?" Rizzy melirik langit-langit café. "Judith Aluna?"

"Zy," suara Racha merendah. "Dia juga di bandara?"

Just Like YesterdayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang