Dari Jakarta yang beberapa bulan ini lagi mendung dan selalu turun hujan, untuk Yogyakarta yang sekiranya lagi cerah berawan.
Buat Orion, yang barangkali lagi sibuk jadi aktivis di kampusnya. Aku berharap waktu kamu baca ini, kamu bisa lebih menghargai apa yang udah hilang. Karena ketika surat ini akhirnya sampai ke tangan kamu, berarti kita udah sampai di lembar terakhir yang mungkin agak mengecewakan buat kamu? Tapi sejujurnya, enggak buat aku. Oh iya, mungkin kamu belum tahu kalau surat ini aku tulis di rumah waffle tempat kita dulu sering ngemil pulang dari Cakrawala---itu juga kalau kamu masih ingat.
Maaf. Panjang banget basa-basinya. Aku cuma mau bilang, kalau hari ini jadi hari terakhir dimana aku berharap kamu buka ponsel kamu, kamu cari nomor aku, dan kamu telepon aku. Ini hari terakhir aku berdoa supaya kita bisa ngobrol seru persis kaya dulu. Orion, aku udah terlalu capek buat bertahan. Itu kenapa aku mutusin hubungan kita yang udah enggak pantas lagi buat diperjuangkan. Sekedar tahu kabar kamu di pagi hari pun, aku enggak bisa. Sekedar tahu apa kamu bahagia di hari-hari kamu, kayanya sulit banget. Mungkin selama hampir satu bulan kamu hilang tanpa kabar, aku keliatan enggak ngeluh sama sekali ke kamu. Tapi aku hampir selalu cerita ke mama dan aku nangis di depan mama. Kenapa aku bisa segitu bodohnya berkorban padahal yang kamu lakuin malah sebaliknya. Aku paham, Orion, kalau kamu sengaja sibuk memang karena perasaan kamu udah bukan buat aku. Karena kamu sedang dalam fase menghindar. Alasannya sederhana, entah ada orang baru, atau kegiatan kamu tampaknya lebih menjanjikan buat masa depan kamu sampai udah enggak ingat aku. Dan aku coba terima, kalau mungkin posisiku udah di nomor ribuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Like Yesterday
Fiksi UmumPART MASIH LENGKAP! "Mungkin, pada dasarnya kita hanya datang untuk kembali berkata hendak pergi. Kamu itu layaknya rasi bintangㅡtidak selamanya terang, tidak selamanya indah. Mungkin sekarang saatnya untuk berkata sudah." Judith Aluna, terkait Ori...