Khuta Ngayogyakarta basah akibat diguyur hujan subuh tadi, menyisakan aroma damai yang khas dan udara dingin menusuk tulang. Satu-satu, kicau burung yang terbang dari langit timur mulai terdengar berisik memasuki setiap jendela rumah yang sudah terbuka. Pagi sejuk ini, kota pelajar itu sedang merepresentasikan arti namanya sendiri; damai. Satu-satu warga paruh baya tampak berlalu lalang dengan ontel mereka, mengenakan pakaian batik berwarna tenang sembari mengayuh sepeda tua yang khas dengan ban 28 incinya. Ada yang sedang mengantar cucu, membawa bahan pokok, atau hanya sekedar berjalan-jalan memutari lingkungan di jalanan yang masih tergenang air.
Pada salah satu rumah berdesain tradisional dengan corak khas yang kental sekali dengan adat Jawa, di beranda rumah yang diisi oleh dua kursi dan meja berbahan kayu jati, Judith duduk menikmati hening yang sedang ia ciptakan sendiri. Perempuan dengan dress sederhana berwarna hitam itu menatap pekarangan hijau luas dengan pepohonan rimbun yang memenuhi manik mata cokelatnya. Di tengah halaman, ada seorang bapak paruh baya dengan sepatu boot tengah memegang gunting tanaman berukuran besar, memangkas beberapa bagian tanaman yang sudah seharusnya untuk dipangkas. Di dekatnya ada beberapa perkakas lain termasuk semprotan berisi cairan khusus. Namanya Pak Sukmo, dia yang menyambut Judith dan Rizzy dengan senyuman ramah semalam, seakan bahagia dapat melihat cicit dari Tuan Rumah yang sudah berpuluh tahun tiada.
"Mirip sekali dengan Ibumu," begitu kata Pak Sukmo dengan senyum hangat kemudian dengan tanggap membawakan koper milik Judith untuk masuk ke dalam rumah. "Sudah makan? Mari Bapak antarkan ke dalam."
Judith memang tidak pernah bertemu eyang buyutnya, tetapi fakta bahwa eyang buyutnya adalah orang baik yang begitu dicintai oleh banyak orang sudah jelas tidak bisa disangkal. Selain Pak Sukmo, banyak lagi orang-orang yang mau bekerja untuk membantu merawat rumah ini, walaupun tidak ada satupun anggota keluarga yang tinggal di sini. Tapi Judith tahu bahwa mamanya akan kerap melebihkan gaji bagi para asisten-asisten rumah.
"Dith!" panggilan Rizzy membuat lamunan perempuan itu buyar. "Buruan, ntar kesiangan."
"Perasaan lo yang lama, deh, ya." Judith berdiri, dia berjalan menuju mobil yang sudah dipanaskan oleh Pak Sukmo sebelumnya. "Nggak dingin apa, Zy, pakai kaus oblong doang?" Judith bertanya sebelum mereka masuk ke dalam mobil.
"Percaya, deh, Dith sama gue," imbuh Rizzy ketika sudah duduk di balik kemudi sedan lawas kebanggaan eyang buyutnya di masa muda. "Jogja tuh panasnya bukan main kalau siang."
"Iyasih, nggak harus lo yakinin gue juga tau, kok. Cumakan gue bilang pagi ini. Pakai jaket atau apa kek, ntar masuk angin. Gue males kalau lo sakit, ntar yang nyupirin gue kesana kesini siapa."
"Kurang ajar lo, ya." Rizzy melemparkan tatapan datar penuh dendam pada sepupunya. Dia sudah mau menurunkan egonya untuk berada di pihak Judith hari ini, tetapi tingkah perempuan itu benar-benar membuat Rizzy ingin turun dan mereka baku hantam sekarang juga. "Telfon laki lo aja sana kalau butuh supir."
Judith menggeleng, "Nggak, ah, gue sama dia udah buat kesepakatan buat enggak ketemuan dulu tiga hari ini."
"Lah? Mang ngapa tuc?" celetuk Rizzy dengan bahasa jamet yang membuat Judith refleks menepuk kepalanya. "Sakit, Anjir, kasar banget lo ya jahanam! Ini kepala, bukan bantal leher."
"Ngomong jamet lagi gue tendang lo," damprat Judith penuh kekesalan.
"Yaudah iya, emang kenapa?" Kini Rizzy berubah manly. Tangannya mengusap kepala bekas hadiah pukulan dari Judith, sedang tangan satunya mulai menyalakan mesin mobil. "Lah, dijawab, Dith, malah diem. Emangnya gue radio?"
"Gue mau ketemu Rion dulu," kata Judith akhirnya. Dia menatap Rizzy yang ternyata juga tengah balas menatapnya. Keduanya berbicara lawat mata, seakan tahu kemana maksud dari ini semua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Like Yesterday
Ficción GeneralPART MASIH LENGKAP! "Mungkin, pada dasarnya kita hanya datang untuk kembali berkata hendak pergi. Kamu itu layaknya rasi bintangㅡtidak selamanya terang, tidak selamanya indah. Mungkin sekarang saatnya untuk berkata sudah." Judith Aluna, terkait Ori...