♪ : BAB 43

1.2K 181 53
                                    

Mendung. Begitu deskripsi satu kata untuk perasaan Judith sejak kemarin. Dia merasa gelap tanpa warna bahkan digerogoti oleh perasaan bersalah. Dia tidak bisa menghubungi Racha, sementara Rion semakin rajin menghubunginya. Sayang sekali, Judith tidak begitu berminat menerima panggilan Rion sebab rasa bersalahnya hanya akan semakin menjadi-jadi terhadap pacarnya. Bahkan pria dengan potret diri terbaik yang tidak pernah melewatkan kelas tersebut berakhir dengan melakukannya juga. Ia tidak menampakkan batang hidungnya hari ini di kelas bahkan di sudut manapun Judith tidak bisa menemukannya. Judith menahan lolongan frutrasi yang hendak keluar dari mulutnya, bisa-bisa seluruh warga di perpustakaan menatapnya kejam sebab terganggu. Judith mencibir sedih, menyenderkan badannya di kursi tempat ia duduk seraya menatap lesu layar laptop. Tugasnya jadi tidak dapat dikerjakan karena moodnya hancur lebur. Padahal begitu banyak jurnal beserta laporan yang harus segera ia rampungkan karena tidak lama lagi ujian akan segera dilaksanakan.

Judith membutuhkan kabar dari Racha, itu saja, maka dengan begitu dia akan kembali baik-baik saja. Ada ketakutan di dalam dirinya ketika ia kembali diabaikan persis seperti bertahun lalu. Walau kali ini Judith terabai karena ulahnya sendiri. Rasanya sangat tidak enak karena Judith terkesan bermain di belakang walau dia tidak pernah berniat untuk melakukan hal jahat tersebut. Racha hanya salah paham dan kunci dari semuanya adalah berbicara. Mereka butuh komunikasi dua arah, maka dengan begitu semuanya akan baik-baik saja.

Memang tidak salah kalau Racha menaruh amarah, tapi apabila sampai menghindar segininya dan melewatkan kelas, rasanya berlebihan sekali dan tentu merugikan mereka berdua. Judith tersentak, ia langsung menepuk pipi sebab pikirannya yang seperti itu. Judith tahu apa? Mau amarah Racha besar atau kecil, itu jelas hak konkrit Racha dan Judith tidak punya andil apapun. Lagipula, dia yang salah, malah dia yang bersifat kejam. Aneh sekali. Kali ini, Judith benar-benar mengerang frustrasi sambil merengek selama 3 detik, dan benar saja, seluruh pasang mata yang berada seruangan dengannya refleks menatap. Ada yang ngeri karena mengira Judith kesurupan, ada yang kesal karena terkejut, ada yang bahkan ingin membunuh Judith karena sudah membuyarkan konsentrasi mereka.

Judith buru-buru menunduk dan menempelkan telapak tangannya, membuat pose maaf kepada semua tamu perpustakaan. Untung sekali dia masih diberi kesempatan berada di dalam dan tidak diusir sama sekali. Judith mengambil ponsel, memainkan benda pipih itu di bawah meja layaknya anak SMP yang takut dipergok guru. Dia semakin tersurut karena tidak mendapatkan balasan apapun dari Racha.

"Cha, telfon dong," rintih Judith dengan suara kecil hampir seperti bisikan. Dia tidak kuat lagi, dimatikannya ponsel, ditutupnya laptop dengan cepat dan membereskan beberapa buku yang ia pinjam dan segera berlalu meninggalkan perpustakaan.

Judith berjalan di koridor yang luas dan hanya fokus ke depan. Lalu lalang di sekitar tidak mampu mengusik kefokusan perempuan itu. Banyak hal yang bermain di benaknya sekarang. Belum lama dia berpacaran dengan Racha, tetapi berbagai masalah sudah datang bertubi-tubi. Mantan sang pacar, Baia, yang tampaknya mencoba mencari perkara dengannya. Belum lagi Ayura yang sama sekali tidak Judith kenal. Astaga, kenapa Judith begitu terkenal di kalangan wanita seperti mereka. Judith mengambil topi dari dalam ransel mungilnya, memakai benda itu segera untuk menutupi kegelisahan yang sedang tegambar jelas di wajahnya.

Ketika perempuan itu berhasil keluar dari gedung fakultasnya, mendadak ponselnya berbunyi. Judith dengan sigap mengecek dengan harapan bahwa sang pacarlah yang meneleponnya. Sayang sekali, malah nama sang mantan yang muncul di layar ponselnya. Judith menghela napas pelan, sedikit malas namun tetap berbesar hati untuk menerima panggilan Rion. Diletakkan ponsel pada telinga sebelah kiri, sembari celingak-celinguk kanan kiri menunggu kendaraan umum yang dapat membawanya pergi jauh meninggalkan lingkungan kampus.

"Halo, Lun," sapa Rion dari seberang.

"Iya, Yon?"

"Kamu sibuk?"

Just Like YesterdayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang