Judith sedang berlari kecil dari tempat penyewaan sepeda yang berjarak kurang lebih 50 meter dari gedung apartemennya sembari memeluk erat kantung kertas berisi bahan makanan dengan satu tangan, sementara tangan yang lain mencoba menutupi puncak kepala sebab rintik hujan mulai terasa menyerbu deras. Malam ini dia ingin masak dengan resep yang didapatnya dari youtube. Tadinya ingin mengundang beberapa orang untuk datang, namun tampaknya akan gagal karena cuaca hari ini tidak mendukung. Lagipula setelah dipikir lagi, kasihan sekali tamunya nanti kalau disuguhkan makanan buatannya. Dia belum semahir itu dalam memasak kecuali untuk mie instan, roti bakar, dan telur.
Judith menyeka bajunya berulang kali ketika ia berdiri di depan pintu utama gedung apartemen, tidak enak kalau langsung masuk. Setelah memastikan dirinya sedikit lebih baik, Judith akhirnya masuk dan langsung bergerak cepat menuju lift. Dia menekan tombol lantai dan menanti pintu besi itu kembali tertutup. Namun saat nyaris menutup, sebuah tangan mendadak muncul dan menahan sehingga pintu kembali terbuka. Judith tadinya sedikit terkejut, tapi ketika seorang menyusul muncul di hadapannya, Judith sontak melotot tidak percaya.
"Rion?"
"Eh, kamu?"
Judith sontak tertawa sembari menggeleng pelan, "Harusnya aku yang bilang itu."
Rion mendadak malu. Dia tampak ragu untuk masuk ke dalam lift, tetapi Judith tampak menggerakkan kepala untuk meminta Rion segera masuk. "Aku pikir bukan kamu orang di dalem liftnya. Abis darimana?"
"Belanja," jawab Judith menunduk menatap kantung kertas di pelukannya. "Mau masak rencananya. Kamu darimana? Mau ketemu Rizzy atau---"
"Ketemu kamu," angguk Rion dan kemudian berdehem pelan. "Maaf nggak ngehubungin kamu dulu."
"Nggak apa-apa," jawab Judith lembut. Dia menahan senyum lebarnya, terlalu bahagia karena bisa melihat Rion lagi. "Yang kemarin ternyata nggak bener-bener jadi yang terakhirkan, Yon?"
Rion menatap Judith, bingung karena malah pria itu yang merasa malu sampai-sampai ia membuang pandangan lebih dulu. Judith sanggup membuatnya kebingungan. Bagaimana mungkin Rion bisa sepenuhnya beranjak tatkala perempuan di depannya begitu layak untuk dicintai. Pria itu berdehem lagi, menyadarkan diri dari halusinasi tidak baik dan kembali melihat Judith yang masih mempertahankan manik kepada Rion. Senyum di wajah Rion terbit sekilas dan ia mengangguk, "Ada yang mau aku bicarain ke kamu, kurang bagus kayanya kalau kita bahas ini di chat, jadi itu kenapa aku dateng langsung."
"Soal apa? Waluku?" balas Judith dengan nada bercanda kemudian tertawa. Judith menggeleng perlahan masih dengan perasaan tidak percaya yang bergumul dalam dirinya, helaan napas lega menjadi akhir dari tawanya. "Percaya atau enggak, aku masih nggak nyangka kita bisa berdiri sama-sama kaya gini lagi."
Rion membenarkan, walau dengan perasaan yang masih pilu. "Bukan soal astronomi, Lun. Ini soal kamu."
"Aku?"
"Iya."
"Emang aku kenapa?"
Rion diam, tidak menjawab pertanyaan Judith namun tampak sedikit gurat khawatir yang ditunjukkan olehnya. Bohong sekali kalau Rion tidak panik dengan Baia yang kelihatannya sangat serius dengan ucapannya. Walau Rion tahu bahwa Judith selalu mampu berdiri di atas kakinya sendiri ketika seseorang berniat menjatuhkannya, hanya saja Rion benar-benar tidak bisa tinggal diam. Apalagi ini tidak hanya Baia, Ayura juga ikut serta. Pria berkaus hitam yang dilapis dengan jaket maroon itu benar-benar akan kehilangan kendalinya kalau saja ada yang berani menyentuh Judith barang seujung kuku. Rion ingin melindungi Judith dan ia berharap dapat berhasil. Setidaknya, sebelum kembali ke Yogyakarta, ada hal baik yang ia perjuangkan untuk Judith.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Like Yesterday
Aktuelle LiteraturPART MASIH LENGKAP! "Mungkin, pada dasarnya kita hanya datang untuk kembali berkata hendak pergi. Kamu itu layaknya rasi bintangㅡtidak selamanya terang, tidak selamanya indah. Mungkin sekarang saatnya untuk berkata sudah." Judith Aluna, terkait Ori...