Setelah lama tidak pernah berjumpa, semesta akhirnya menyinggungkan mereka dengan cara yang amat mengejutkan. Tenang yang sudah bersubur di dalam hati nyatanya tidak membuahkan nyaman, melainkan gaduh tak berkesudahan. Kemarin, selalu ada wujudnya yang terasa hangat, namun kini sudah dingin dengan keretakan di segala sudutnya. Pandangan mata yang hampa, jiwa luluh lantak, tubuh pecah terberai dengan ruh yang tak lagi baik-baik saja. Dalam kurun waktu dua tahun, banyak hal yang telah dibangun pada akhirnya berujung hancur lebur.
Menjalin hubungan dengan teman semasa kecil dipikir adalah hal yang baik. Toh, bila keduanya memang saling menyayangi maka apa yang salah? Hati yang saling terikat dalam satu lagu kasih nyatanya tidak pernah salah. Manusianya saja yang pendosa. Pada awalnya semua terasa manis, hingga rasa es teh dengan gula sebanyak apapun ikut kalah. Ada pelukan, ada sapaan selamat pagi yang tidak pernah absen, ada ucapan selamat tidur dengan harapan agar lelap bersama nyenyak. Ada senyum, omelan lucu, serta amarah serius yang masih bisa dibujuk dan dua kelingking manis kembali bertautan; berbaikan.
Namun hati ada kalanya bertemu jenuh. Bosan itu pasti akan selalu datang, tetapi menjadi brengsek dan menghilang tanpa alasan juga bukan suatu hal yang patut dilakukan. Manusia pendosa mengikuti nafsu jahat. Melukai hati seorang yang selalu mendoakan. Yogyakarta bak ilusi menyenangkan kala itu. Segala hal terasa nyaman dilakukan seorang diri tanpa harus ada orang lain yang mengatur. Sedang Jakarta kian panas dengan pukulan kenyataan menyakitkan. Berharap dapat selalu satu dengan orang yang disayang walau pada akhirnya harus selalu merasa sendirian. Jarak yang tadinya hanya bersifat maya, perlahan jadi nyata. Hubungan jarak jauh yang awalnya masih bisa diterima dengan bantuan jaringan, berakhir sulit untuk dijalani walau sudah berusaha mencari obat dan meneguknya banyak-banyak.
Kisah itu kandas. Semesta membenci seorang pendosa yang menuhankan aksi pergi tanpa suara untuk jadi solusi terbaik ketika ketika diri diliput jenuh dan bosan. Semesta enggan menatap sosok penghuni bumi yang acap kali berbohong; berkata sayang padahal rasa itu telah hambar. Jika bosan tinggal katakan, cari solusi terbaik bersama-sama. Tidak apa bila akhirnya pergi, sebab yang terpenting sudah saling jujur soal isi hati. Jangan biarkan satu hati menghilang tanpa jejak sementara hati yang lain nyatanya masih mencari. Itu jahat ... jahat sekali.
♪ s p a c e ♪
"Judith, udah?" Judith terperanjat ketika Bia masuk ke ruangannya untuk mengecek penampilan gadis itu. Sang kakak memasang raut takjub, mematut penampilan Judith dari atas kepala hingga ujung kaki dengan air wajah tidak percaya. Adiknya begitu cantik malam ini. Judith mengenakan dress indah berwarna putih angsa dengan design sederhana, sengaja agar sosok yang memakainya tampak lebih mencolok. Dress itu jatuh sempurna hingga lutut dengan model tangan lengan panjang. Terdapat butiran mutiara yang tersusun rapih di bagian tengah leher dan turun terus ke bawah hingga pinggangnya. Dress itu dibuatkan langsung oleh mamanya bulan lalu dan kebetulan dibawa kemari.
Bia memutar tubuh Judith beberapa kali seraya memperhatikan detailnya. Tangannya menyentuh rambut Judith yang tergerai manis.
"Istimewa banget ya, Dith, malam ini?" tanya Bia kemudian memperhatikan lagi dress yang Judith pakai. Wanita itu tidak mau ada cela pada adik semata wayangnya. Bia sadar ketika Judith tidak kunjung menjawab pertanyaannya. Dilihatnya wajah sang adik yang nyatanya sedang melamun menatap cermin, entah sedang memikirkan apa. "Judith?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Like Yesterday
Ficción GeneralPART MASIH LENGKAP! "Mungkin, pada dasarnya kita hanya datang untuk kembali berkata hendak pergi. Kamu itu layaknya rasi bintangㅡtidak selamanya terang, tidak selamanya indah. Mungkin sekarang saatnya untuk berkata sudah." Judith Aluna, terkait Ori...