♪ : BAB 48 [b]

954 184 30
                                    

Hangat dan nyaman. Dua kata yang cukup untuk mendeskripsikan perasaan Judith ketika akhirnya dia bisa memeluk erat sang mama. Matanya terpejam, hidungnya menghirup sebanyak mungkin aroma tubuh wanita yang selalu ia rindukan di setiap malamnya. Judith menyembunyikan wajahnya dalam dekapan sang mama, mencoba tidur walau agak sulit untuk dilakukan karena seluruh waktunya di pesawat benar-benar habis hanya untuk itu. Bersama dirinya yang mulai menemukan ketenangan, Judith dapat merasakan elusan mama yang awalnya bertahan pada rambut mulai turun ke punggung. Ah, terasa sudah lama sekali sejak mereka bertemu di Los Angeles beberapa bulan lalu. Masa-masa bahagia dengan dunia yang penuh dengan tawa dan pelukan hangat. Kini semuanya terenggut begitu saja.

Papa Judith, Aldric, melirik istri dan anaknya dari spion mobil. Tidak mengeluarkan komentar apapun ketika sang putri bungsunya merengek untuk meminta Nadine ikut duduk di jok belakang bersamanya. Aldric selalu senang melihat Judith mau kembali menjadi sosok yang manja. Bukan berarti dia tidak menginginkan putrinya untuk dewasa, hanya saja, ini hanya egonya sebagai seorang ayah yang akan terus menganggap bungsunya sebagai princess kecil alih-alih sebagai seorang perempuan independent yang sudah mampu tinggal sendiri di Amerika Utara. Aldric bertemu pandang dengan Nadine, sama-sama melemparkan air wajah penuh tanya sebab penasaran mengapa bungsunya terlihat begitu berbeda. Seakan ada hal yang sedang terjadi dan Judith memilih untuk menyimpannya.

"Anak mama kok mirip bule, ya," celetuk Nadine mencoba mengubah atmosfer di dalam mobil. Judith bergerak pelan, tetapi tidak memberikan balasan apapun. Dia hanya semakin menyamankan diri persis anak kucing yang sedang mencari hangat dari pelukan ibunya. Judith pikir, badai di luar terlalu berbahaya sampai-sampai yang ingin dia lakukan hanyalah berlindung dan berhenti dari aktivitas dunia luar. Perempuan itu lelah.

"Enakan langsung pulang apa kita makan Mie Ayam Bude dulu, ya, Dek?" Aldric pun sama, mencoba berusaha mencairkan suasana. "Judith nggak kangen Mie Ayam Bude, apa? Papa sama mama tiap minggu jadi makan kesana terus karena kangen sama Judith."

Judith mengintip punggung papanya, tidak seperti yang diduga, perempuan yang tengah bersedih itu mengangguk mengiyakan tawaran papanya. Perutnya lapar sekali setelah penerbangan lama. Belum lagi kata mie ayam benar-benar mencuri perhatian Judith. Membayangkan kuah rempah dengan tiga sendok cabe rawit beserta saus sambal dan kecap manis. Sangat menggiurkan untuk seorang berlidah Indonesia seperti Judith. Kanada mungkin bisa bangga dengan kemajuan negaranya, tapi Indonesia tetap menang karena memiliki mie ayam bude dan nasi padang, lalu bubur ayam ami, warung pecel lele dan ayam geprek super pedas, kemudian sate padang kuah padeh dengan daging sapi yang empuk.

Judith yang tadinya lemas mendadak tersadar bahwa dia tidak bisa bersedih-sedih terus. Dia berada di belahan dunia yang penuh akan makanan enak sekarang, tanah airnya, tempat kelahirannya. Judith mencondongkan badan ke depan, melihat awan dari jendela depan yang luas. "Udah sore ya, Pa, ternyata. Yaudah yuk sikat Mie Ayam Bude, Judith kangen banget."

"Kirain nolak," balas Aldric tertawa. Dia ikutan melirik awan sesaat, bahkan membuka kaca mobilnya sebentar untuk merasakan angin yang berhembus. "Kayanya mau hujan, Dek, makin pas berarti waktunya buat makan mie ayam."

"Mau panas terik, mau hujan badai, mau salju, gugur, semi, Judith nggak peduli, Pa, pokoknya detik ini juga harus mie ayam!"

Nadine menatap punggung putri bungsunya sedikit lebih lega. Dia bahkan menyentuh baju yang Judith kenakan dan berpikir kalau putrinya sudah tampak berubah. Judith semakin terlihat mirip dengan Abiana dari segi garis wajahnya. Cara berpakaiannya juga tidak sesimpel dulu yang khas dengan celana straight jeans dan kaus longgar. Nadine bangga ketika di Los Angeles kemarin Judith banyak membawa dress sederhana untuk dipakai ketika santai. Walaupun kali ini Judith mengenakan kaus, tapi usahanya mengenakan jaket manis dan sepatu sudah membahagiakan Nadine. Dia senang setiap Judith mau melepaskan diri dari sandal dinasnya—padahal itu semua persis kebiasaan Nadine muda.

Just Like YesterdayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang