Baia menatap layar ponselnya dengan tatapan geram. Baru beberapa menit lalu dia masih mendengar nada sambung ketika menghubungi Racha, detik sekarang dia mendapati nomor pria itu sudah tidak aktif. Racha memblokirnya. Entah sudah kali berapa Baia harus membeli nomor baru hanya agar dapat mengirimkan pesan singkat yang selalu diabaikan, menghubungi pria itu walau selalu tidak ada jawaban. Baia menghela napas kasar, wajahnya terlihat tidak terima dengan perlakuan Racha yang dingin.
Diteguknya cappuccino yang tersisa setengah, menatap jalanan sore yang ramai lalu lalang manusia. Semuanya bergerak. Begitupula dengan Baia yang mulai berdiri dan mengalungkan tas di salah satu pundaknya. Dia membuka pintu café, kemudian ikut berbaur pada sore milik Toronto yang sibuk. Hiruk pikuk sekitar kembali menyadarkan Baia bahwa dia sedang tidak berada di Yogyakarta. Dan yang terpenting, tidak berada di dekat mantan suaminya lagi. Helaan napas wanita berumur seperempat abad itu lolos dari mulutnya, kepalanya selalu saja membunyikan alarm setiap ia mengingat akan sosok suaminya.
Seharusnya, Baia tidak pernah meragukan Racha. Seharusnya, Baia tidak pernah berjalan menjauh dari pria itu. Banyak kata seharusnya yang beterbangan di dalam benak Baia sampai-sampai tidak bisa ia sebutkan semua. Kesalahannya dulu karena meninggalkan Racha sesuka hati dan menerima ajakan menikah pria lain dengan dalih bahwa pria tersebut kaya raya dan Baia---dengan segala pikirannya yang tamak---tentu akan bahagia. Nyatanya jauh lebih menyakitkan, Suaminya berselingkuh dan Baia harus mengambil langkah tepat untuk menyudahi rumah tangga mereka yang juga sudah berubah dingin jauh sebelum terkuaknya berita perselingkuhan tersebut. Sebab wanita seperti Baia adalah wanita penuntut kesempurnaan. Dia ingin tinggal hidup enak dengan harta miliknya suaminya, tetapi dengan tidak sopannya menginginkan Racha sebagai teman hidupnya.
Baia terus saja memikirkan kemungkinan bagaimana ia dapat kembali pada Racha, mengingat ia sudah melakukan apapun untuk dapat menghubungi Racha dan tampaknya itu sama sekali tidak bekerja. Helaan napas berat wanita itu keluar lagi, dia menatap langit dari persimpangan College Street tepat di depan halte. Dari sini, wanita itu sudah memutuskan untuk mendatangi Racha secara langsung karena dia sudah tidak kuat lagi. Pertemuan mereka di bandara boleh jadi berakhir dengan Baia yang ditinggalkan, tapi kali kedua bisa saja dia memenangkan keadaan.
Wanita itu menunduk sebentar, mematut penampilannya yang tenang hari ini. Atasan blouse berwarna baby pink dengan celana berbahan kain warna putih gading. Baia menggerakkan kakinya dengan bangga sebab heels indah yang ia gunakan berwarna senada dengan celananya. Baia membelinya semalam, akibat hampir gila karena menanti jawaban Racha, wanita itu memutuskan untuk belanja banyak barang. Kini, tampak jelas bahwa ia begitu puas dengan penampilannya.
Ketika bus yang ia tunggu-tunggu mendekat, Baia merasakan getaran dari dalam tasnya. Jantungnya mendadak berdetak kencang dan besar berharap bahwa Racha adalah peneleponnya. Tetapi saat ponsel itu ia keluarkan dan melihat siapa yang menghubungi, wajah Baia sontak jauh berubah muram. Adiknya menelepon dan pasti akan cerewet lagi. Dengan berat hati, sembari perlahan masuk ke dalam bus, Baia menerima panggilan adiknya.
"Mbak Baia, susah banget ya angkat panggilanku?"
"Apa?" kata Baia tidak berminat setelah mengambil duduk di salah satu kursi. "Kamu tuh bisa nggak jangan gangguin Mbak terus? Mbak lagi pusing."
"Ya sama! Ini aku juga lagi pusing, ih, Mbak."
"Terus urusannya sama Mbak apa?"
"Bantuin...," ucap Ayura dengan nada manja.
Baia menjauhkan ponsel dari telinganya dan menatap layar benda pipih itu tidak percaya. Ditahannya helaan napas beserta emosi yang bergumul. Perlahan, diletaknya kembali ponsel ke telinga dan mencoba mendengar permintaan Ayura lebih lanjut. Semenyebalkan apapun adiknya itu, dia tetap saja adalah kakak yang tidak tega membiarkan Ayura luntang-lantung sendirian tanpa siapapun di sisinya.
"Mau kamu apa?"
"Rion, dia di Toronto."
"Rion?" balas Baia dengan nada penuh tanya. "Rion yang kamu suka?"
"Iya. Mbak nangkep benang merahnya nggak?" ucap Ayura dengan nada sebal. Kalau mereka berdiri berhadapan, sudah dipastikan Baia dapat melihat asap melepuh muncul dari kedua telinga adiknya. "Mbak sekarang lagi ada di Toronto buat ngejar Mas Racha. Dan Mbak bilang kalau Mas Racha udah punya pacar dan nama perempuan itu Judith. Mbak lupa waktu aku bilang siapa nama mantannya Rion?"
Baia melotot. Dia baru ingat. "Astaga."
"Asnaga," ujar Ayura dengan meniru nada terkejut milik kakaknya. "Aku dapet info dari Hena kalau Rion ternyata nggak ikut pulang ke Jogjakarta, tapi malah berangkat ke Toronto. Mbak, aku takut. Aku seriusan nggak mau Rion liat masa lalunya, Mbak. Atau aku harus berangkat ke Toronto juga buat buktiin aku serius?"
"Bucin banget," ujar Baia dengan nada mengejek.
"He ngaca! Mbak juga sama aja. Terbang sana sini buat ngejar Mas Racha tapi sayang nggak dilirik sama sekali."
"Eh kamu jangan sembarangan, ya. Emangnya kamu nggak malu pepetin laki-laki yang jelas-jelas udah ngedepak kamu dari hidupnya? Ayura adik Mbak yang manis, laki-laki yang kamu sayang itu masih belum move on sama masa lalunya. Mbak malah setuju kalau Rion bisa balik lagi ke Judith, jadi kemungkinannya besar untuk Mbak balik sama Racha."
Ayura terdengar mendengus sebal. "Mbak, emangnya Mbak seyakin apa kalau Judith sama Mas Racha bakalan selesai? Mereka bakalan awet, Mbak. Jadi daripada Mbak sama aku ngeribetin siapa yang bakalan menang, lebih baik mikirin caranya supaya Judith-Judith itu nggak menangin siapa-siapa. Mbak dapetin Mas Racha, dan peluangku sama Rion balik lagi."
Baia di kursinya tampak sedang berpikir, dia merasa kalau ucapan Ayura ada benarnya juga. Setelah diam beberapa saat sembari memijat ringan pelipisnya, Baia akhirnya memberikan jawaban. "Oke, terus rencana kamu apa?"
"Karena hubungan Mbak ke Judith udah nggak enak dari awal, berarti Mbak nggak bisa deketin Judith gitu aja. Kita mulai dulu dari Rion gimana? Mbak coba deketin dia tapi usahain harus bangun ulang citra yang baik di depan dia. Soalnya anak-anak udah pada tau kalau berita Mbak nikah sama Mas Racha itu bohongan dan orang pasti mikir kita kakak adik nggak bener."
"Kamu punya kontak Rion, kan? Buruan kirim."
"Eh, tapi Mbak mau ngapain?"
"Apalagi emangnya? Ngeyakinin Rion buat ngejar Judith lagi."
"Hah? Kok gitu? Mbak ini rencananya bukan cuma buat nguntungin sisi Mbak."
"Hey, Cerewet! Look!" ujar Baia gemas sendiri. "Kalau Mbak tiba-tiba dateng nyuruh Rion jauhin Judith, yang ada Mbak bakalan diblacklist sama dia. Cara yang paling ampuh ya ngebuat Rion, Racha, sama Judith saling kebingungan sama perasaan mereka bertiga, Ayura. Kalau Rion masih merjuangin Judith, otomatis Racha bakal pertahanin dia lebih keras. Sampai akhirnya, Judith ngelepas keduanya dan nggak milih siapa-siapa. Perempuan itu bakalan hancur karena nggak tau harus kemana. Persimpangannya sama-sama kuat dan ada kemungkinan dia bakal putar balik setir buat jalan ke belakang, Ayura."
"Wah," respon Ayura terdengar jelas dari seberang, sementara Baia tetap menahan ekspresinya sebaik mungkin walau jauh di dalam lubuk hatinya, ia merasa akan memenangkan hal besar.
Tanpa sepatah kata, Baia mematikan sambungan telepon dan fokus menatap keluar jendela. Dia tidak sabar muncul di depan unit apartemen Racha malam ini.
♪ s p a c e ♪
[Minggu, 26 Juli 2020]
singkat tapi nyebelin ya babnya🙏🏿 tinggalin komentar yuuuuk😶
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Like Yesterday
Narrativa generalePART MASIH LENGKAP! "Mungkin, pada dasarnya kita hanya datang untuk kembali berkata hendak pergi. Kamu itu layaknya rasi bintangㅡtidak selamanya terang, tidak selamanya indah. Mungkin sekarang saatnya untuk berkata sudah." Judith Aluna, terkait Ori...