Tubuh Judith lemas di balik selimut putih yang terasa sejuk akibat pendingin ruangan. Matanya tertutup, tapi dia sama sekali tidak tidur. Pikirannya tengah terbang kesana kemari sedang hatinya tengah sesak tidak terkendali. Setelah mencoba bersikap sebagaimana mestinya pada Rion, kini bayangan pria itu tidak bisa lepas dari dalam kepalanya. Alasan-alasan yang Rion katakan, beban yang ia pikul, senyum kecut yang coba ia paksakan dari wajahnya, itu semua mengganggu Judith secara nyata.
Bayangan akan sosok gadis kecil yang cantik tiba-tiba menyapa lagi kepala Judith. Belakangan, ia sering terbayang Araz, adik perempuan Rion yang sudah lama tiada setelah berjuang menghadapi kanker di tubuhnya. Sebelum pergi, Araz menitipkan pesan pada Judith untuk selalu menjaga Rion. Walau pada kenyataannya hal itu tidak bisa Judith lakukan lagi. Ia dan Rion pada akhirnya tidak menuju pada persimpangan yang sama. Sekalipun ada resah karena Judith tidak lagi dapat menjalankan amanat Araz sebagaimana mestinya, namun dia pun tidak bisa memaksakan kehendak. Judith sendiri yakin, bahwa penjagaan semesta pada manusianya akan selalu lebih baik ketimbang manusia ke manusia lainnya.
Bunyi bel yang terdengar membuat Judith menghela napas panjang, dia belum mau menyingkap selimut yang menutupi seluruh badannya. Tempat tidur seakan mempunyai magnet untuk tubuhnya dan bantal dengan lem perekat super kuat yang membuat Judith benar-benar tidak bisa bangkit. Tanganya terulur keluar dari selimut, meraba permukaan meja nakas untuk mencari keberadaan ponselnya. Kala didapat, Judith langsung meraih dan menyalakan ponsel tersebut dari dalam selimut. Matanya sedikit menyipit karena silau, kemudian dicarinya kontak Racha dengan cepat untuk menelepon pria itu.
Ketika panggilan terhubung dan langsung diterima oleh Racha, Judith langsung bersuara. "Masuk aja, passwordnya 0208."
Judith mematikan sambungan telepon dan kembali memejamkan mata. Perempuan itu kehilangan moodnya yang berharga padahal pagi tadi ia sangat ingin bertemu Racha. Detik ini, yang ingin Judith lakukan hanya memejamkan matanya hingga esok pagi datang lagi. Mencoba melupakan bayangan kejadian hari ini sebisanya. Padahal, semakin Judith keras kepala untuk melupakan, maka ingatan itu akan lebih keras kepala pula untuk tetap tinggal dalam kepalanya.
Judith menyerah pada akhirnya dengan helaan napas kasar, dia menyingkap selimut dan langsung mengganti pakaian. Perempuan itu mengambil baju kaus dan celana panjang longgar, mengenakannya secepat kilat seraya mematut gambaran dirinya di cermin. Judith menyisir rambutnya dengan jemari, kemudian memutar kunci pintu kamarnya dan keluar dari sarangnya.
Hal pertama yang Judith dapatkan masih selalu berhasil mengejutkannya, dimana Racha akan selalu bermain di dapurnya dan tenggelam dalam dunianya sendiri. Kali ini, dengan baju kaus dan celana santai selutut, pria itu tampak asik sendirian mengeluarkan bahan makanan dan menyusunnya ke dalam lemari pendingin. Judith menghela napas, tanpa sadar senyum tipisnya tergores di wajah yang sarat akan lelah. Si cantik dengan baju kaus warna oranye itu berjalan mendekat, menyandarkan tubuhnya di meja sembari terus mempertahankan pandangan pada punggung Racha yang tegap.
"Cokelat panas pesenanku mana?" tanya Judith dan Racha sontak menoleh. Pria itu agak kaget karena Judith yang tiba-tiba muncul tanpa suara. Sebenarnya bukan karena Judith yang bergerak secara mengendap-endap, tetapi memang Racha saja yang terlampau asik hingga tidak peduli lagi dengan sekitarnya. Sudah pernah Judith katakan, pria berstatus pacarnya itu selalu saja begitu kalau sudah terlampau fokus pada satu pekerjaan. "Cokelat panasku, Cha, ada?"
Racha mengangguk, lantas menunjuk meja di dekat sofa dimana dua cup minuman terletak di sana. "Kamu udah makan malem?"
"Belum." Judith menjawab dengan santai sembari menjauhi Racha untuk mendekat pada minumannya. "Tadinya udah tidur, terus tiba-tiba denger bel bunyi."
"Mau makan apa?" tanya Racha menyusul Judith yang sedang duduk di sofa.
Judith menggeleng perlahan, "Nggak laper." Pandangannya tidak terarah pada Racha, melainkan pada jendela yang gordennya sengaja ia buka sepanjang waktu. Matanya menatap lampu-lampu gemerlap kota, sementara isi pikirannya jelas tengah terbang ke tempat berbeda.
![](https://img.wattpad.com/cover/198453879-288-k735672.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Like Yesterday
Fiksi UmumPART MASIH LENGKAP! "Mungkin, pada dasarnya kita hanya datang untuk kembali berkata hendak pergi. Kamu itu layaknya rasi bintangㅡtidak selamanya terang, tidak selamanya indah. Mungkin sekarang saatnya untuk berkata sudah." Judith Aluna, terkait Ori...