♪: BAB 42

1.1K 183 32
                                    

Racha menatap layar ponselnya yang gelap total. Dia duduk menatap langit malam dari balkon unit apartemennya, masih dapat merasakan udara sisa hujan yang sejuk. Racha tidak bisa memikirkan apapun sekarang. Fakta bahwa Judith membawa pria lain selain dirinya entah kenapa malah mengusik hati kecilnya. Apa Judith sudah meminta izin kepada papanya? Apa Judith membawa Rion semudah itu untuk masuk ke dalam unitnya? Berbagai pikiran untuk membandingkan dirinya dengan Rion kembali hadir dan menghunus kepalanya terus-terusan.

Racha tidak pernah merasa sehampa dan setakut ini dalam waktu bersamaan. Bahkan ketika sang ayah mengusirnya untuk meninggalkan Indonesia, Racha tidak gentar untuk melawan dan bahkan benar-benar mengangkat kakinya dari tanah air untuk mengejar kebebasannya sendiri jauh ke Benua Amerika. Racha dengan kehidupannya yang super duper tenang sebelum ia bertemu dengan Judith, dan semuanya terbalik ketika ia mulai mengenal gadis itu lebih dalam. Sampai akhirnya, Racha memberanikan diri untuk menjadikan Judith miliknya dan seakan seluruh dunia benar-benar berpihak padanya kala itu. Bagi Racha, melarikan diri ke Kanada benar-benar menjadi pilihan terbaik dalam sejarah hidupnya.

Tetapi setelah langkahnya melewati ambang pintu Judith dan menemukan sepasang sepatu asing yang dia pikir adalah milik Rizzy, hatinya masih baik-baik saja sampai akhirnya sosok nyata Rion dilihatnya dengan sangat jelas. Racha ingin tenang dan berpikir bahwa dialah pemenangnya sebab Judith benar-benar sudah menerimanya. Tetapi bagi Racha, Rion jelas adalah lawan nyata. Ia kunci dari segala pintu kemana akhir dari ini semua. Rion memegang segala hal tentang Judith sejak dulu, bahkan mungkin hingga sekarang tanpa Racha ketahui. Bukan karena ia ragu terhadap Judith, tetapi ia tahu bahwa Rion akan terus berusaha dan pacar manisnya bisa saja memilih untuk balik kanan.

Racha pikir dia siap. Tidak. Dia sama sekali tidak siap melepaskan Judith untuk siapapun, sekalipun Rion menang atas masa lalu perempuan itu. Racha sadar bahwa dia bukan yang pertama, tapi bisakah dia berharap untuk menjadi yang terakhir dan selamanya bagi Judith? Apa impian dan harapan semacam itu terlalu tinggi untuknya? Racha membuang helaan napasnya yang berat, dia menunduk lagi untuk menatap layar ponsel.

Sekarang pukul 9 malam di Toronto dan ibunya pasti sedang sibuk di Yogyakarta karena restoran selalu buka di pukul 9 pagi. Racha tidak enak bila mengganggu, tetapi dia benar-benar ingin mengeluhkan segala masalahnya kepada ibu. Racha hanya mampu menatap benda pipih itu dengan pikiran yang terus terbang kemana-mana. Di atas meja dimana secangkir kopinya berada, Racha ikut meletakkan ponselnya yang tidak berguna. Bukan, bukan ponselnya yang tidak berguna melainkan dirinya. Dia jelas tengah membutuhkan bahu untuk bersandar tapi malah berpura-pura kuat seolah semuanya baik-baik saja. Racha butuh didengar sekarang, tetapi dirinya memilih untuk bersikap naïf kalau langit malam sudah cukup menjadi telinga untuk mendengarkan keluhannya. Racha barangkali lupa bahwa dia adalah makhluk sosial dan beranggapan menjadi makhluk individual adalah segalanya. Tinggal dihitung mundur saja sampai segala rasa sakit yang ia pendam berubah menjadi penyakit dalam dirinya dan menyebar pada sekitar.

Pria dengan kaus hitam polos itu hampir saja terlonjak ketika ponselnya berdering keras. Dia melihat nomor asing yang tertera di layar ponsel dan itu sudah pasti Baia dengan nomor barunya. Tanpa pikir panjang, Racha menolak dan memasukkan nomor tersebut dalam daftar blokirnya. Konyolnya, ponselnya kembali berdering ringan tanda ada pesan baru yang masuk—masih dengan nomor yang asing tetapi berbeda dari sebelumnya.

Racha meraih ponselnya, baru saja hendak menghapus, isi pesan yang dapat ia lihat dari pemberitahuan saja sukses menarik perhatiannya.

From: unknown

"Kamu nggak penasaran kenapa Judith sama Rion bisa sama-sama hari ini, Cha? Aku tau alasannya. Aku bakalan cerita kalau kita ketemu. Besok, di café ujung jalan dekat gedung apartemen kamu aku tunggu di sana jam 10 pagi. Keputusannya ada di kamu. Dateng, kamu tau jawabannya. Milih diem, kamu sendiri yang bakal penasaran karena dua orang itu belum tentu mau jujur."

Just Like YesterdayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang