♪ : BAB 52 [b]

886 148 34
                                    

“It all feels like yesterday.”

♪ ♪ ♪

Judith mengambil satu kuaci yang ada di telapak tangan Rion. Menggigit bagian ujung kuaci dengan gigi sehingga terdengar bunyi pecahan kecil. Dengan bantuan jari, Judith mengambil isi kuaci tersebut. "Permintaan kedua kamu apa?" tanyanya sembari memakan isi kuaci.

Rion yang sedang melamun menatap jalanan ramai di depan seketika menoleh pada Judith. Menatap pipi si perempuan yang terus bergerak untuk mengunyah isi kuaci. "Permintaan kedua?" tanya Rion mengembalikan tanya. "Belum kepikiran."

"Masa belum kepikiran?" Judith mengambil lagi satu kuaci. "Emang nggak mau kamu pake?"

Rion menggeleng cepat dengan mata melotot karena pertanyaan Judith yang tidak masuk akal. Dia mulai berdiri, mengulurkan tangan dan Judith tetap menyambutnya walau dengan raut super bingung. Mereka meninggalkan bangku iconic di tepian Jalan Malioboro karena Rion mendadak ingin mengajak Judith melakukan sesuatu daripada sekedar duduk dan makan kuaci.

"Mau kemana?" Judith tidak sudah-sudah bertanya.

"Mendingan naik becak atau muterin Jogjakarta naik pespa, ya, Lun?"

Judith tampak berpikir dari balik bahu Rion. Dia tidak serta merta menjawab, perhatiannya ditarik ke arah lain. Pada jemari mereka yang saling bertaut tanpa ragu. Mendadak Judith merasa sesak. Kala rasa bersalahnya kepada Rion mulai menguap, kini rasa itu malah kian mengendap untuk Racha. Astaga. Sebenarnya apa yang sedang dilakukan oleh perempuan itu. Apa yang membuatnya berpikir untuk melakukan hal nekat seperti ini.

"Naik pespa aja, yuk?" kata Judith. Semua pikiran negatif yang melompat-lompat di dalam kepalanya ia coba untuk usir sekeras mungkin. "Aku mau pergi yang jauh."

"Mau kemana?"

Judith menggeleng, dia tidak tahu. Yang dia inginkan hanya terus bergerak dan merasakan angin menyapu kulit wajahnya berharap segala gusar dan takut itu ikut pergi. "Kamukan tau banyak tempat. Tapi aku nggak mau ke gedung-gedung, aku mau nikmatin udara seger."

"Yaudah yuk," kata Rion setuju. "Aku tau kita harus kemana."

Selama bergenggaman tangan, Rion dapat merasakan kulit Judith yang hangat bersatu dengan kulit tangannya yang dingin. Nyatanya, bahasa tubuh pria itu tidak pernah bisa berbohong perihal segugup apa dia sekarang. Waktu mereka tersisa setengah hari lagi untuk hari ini, bagaimana mungkin Rion bisa bersikap tenang-tenang saja.

Di tepian jalan Malioboro yang teduh karena banyak pohon-pohon besar, Judith dapat merasakan apa yang tengah Rion sembunyikan. Perempuan itu menyenderkan kepalanya perlahan pada bahu si pria, membiarkan angin sejuk berlarian di sekitar mereka bersama langkah yang dibuat pelan.

"Rion," panggil Judith pelan, isi kepalanya lagi-lagi carut marut.

"Kenapa?" sambut Rion beberapa saat kemudian.

"Mimpi kamu apa?" Judith mencoba mencari informasi terbaru. Dia ingin tahu apa impian Rion setelah sekian tahun berlalu. Apakah masih tetap sama dengan remaja berompi merah maroon yang menyandang titel ketua OSIS. Atau kini sudah berganti dan lebih fantastis lagi?

"Apapun, jadi orang besar yang punya banyak relasi di sana sini. Kerja di luar negri dan bikin masa depan Aksa jauh lebih terang." Sesuai dugaan Judith. Rion dengan impiannya yang super besar. Dia selalu suka dengan Rion yang mempunyai rencana jangka panjang, sementara dirinya lebih fokus hidup di satu hari tanpa mau repot-repot memikirkan hari besok. "Kamu?"

"Aku?"

"Iya, impian kamu semenjak udah jadi mahasiswa U of T."

Judith menegakkan kepala, dia tersenyum geli dan menggeleng. "Aku belum punya rencana apa-apa, kecuali langsung ngelanjutin S2 setelah S1 selesai."

Just Like YesterdayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang