♪ : BAB 8

2.2K 269 38
                                    

“Bahwa kisah, mau seindah apapun prosesnya, jika takdirnya tidak dipertemukan dengan bahagia, maka apa boleh dikata?”

• • •

Judith menyesap hangatnya cappuccino dari bibir cangkir hitam yang ia pegang. Udara dingin kota menyatu dengan wangi cappuccino lalu melebur jadi satu. Indahnya pemandangan kota yang dihiasi kerlap-kerlip lampu gedung-gedung tinggi dan kendaraan yang ramai di jalanan selalu membuat Toronto menjadi hidup ketika malam. Kota besar di Kanada itu memang tidak pernah tidur---begitupun dengan Judith malam ini.

Gadis dengan sweater dan celana tidur kebesaran itu memilih duduk di beranda kamar apartemennya. Ia duduk di atas kursi dengan posisi bersila, sehingga kedua kakinya yang ditutupi kaus kaki merah jadi saling menghimpit agar tetap hangat. Di atas mejanya, secangkir cappuccino dan macbook yang tiada lain tengah menampilkan tugas. Judith sudah duduk sejak lima belas menit lalu tetapi belum ada kelanjutan dari jurnalnya kali ini. Dia sedang malas membaca buku refrensi yang baru diberikan oleh profesornya hari ini. Mendengarkan lagu-lagu yang terputar secara acak dari ponselnya jauh lebih menyenangkan daripada berkutat dengan kalimat-kalimat monoton perihal hubungan internasional.

Lagu baru terputar lagi, Judith berusaha menyelami intronya untuk menebak judul dari lagu tersebut. Matanya tertutup, telinganya dipertajam. "Travelling places, I ain't seen you in ages." Gadis itu menemukannya. Namun terlalu takut untuk ikut bernyanyi ketika lirik pertama mulai dilantunkan dengan nada rendah oleh penyanyinya. Judith hanya mendengarkan, enggan membuka mulutnya karena lagu ini terlalu menyakitkan untuk dirasakan oleh hati kecilnya. Tetapi mengganti lagu tersebut, jarinya juga enggan. Gadis itu memeluk kedua lututnya, membiarkan kenangannya bersama seseorang mengalir bagaikan air.

But I hope you come back to me.
My mind's running wild,
with you far away.
I still think of you
a hundred times a day.

I still think of you too,
if only you knew.
When I'm feeling a bit down,
and I wanna pull through.
I look over your photograph,
and I think how much I miss you.

I miss you....

I wish I knew where I was,
'cause I don't have a clue.
I just need to work out some way,
of getting me to you.
'Cause I will never find a love
like ours out here,
in a million years,
a million years.

My location unknown.
Tryna find a way back home
to you again.
I gotta get back to you.
Gotta gotta get back to you.

I just need to know that you're safe,
given that I'm miles away.
On the first flight,
back to your side.
I don't care how long it takes,
I know you'll be worth the wait.
On the first flight,
back to your side.

Judith menghela napas berat. Matanya terbuka dengan air mata yang tiba-tiba saja meluncur di pipi. Bagaimana dulu ia selalu memberitahu Rion segala hal yang ia lakukan. Memberi kabar pada pria itu dengan perasaan yang tidak pernah berubah. Segala kebaikan Rion, keelokan senyum pria itu, serta segala hal yang selalu ia perjuangkan untuk Judith. Rion yang selalu berusaha memetik senar gitar di beberapa malam, menemani Judith via video call sampai gadis lucu itu jatuh terlelap. Berusaha melawan jarak antara Jakarta dan Yogyakarta. Hingga pada akhirnya, salah satu dari mereka memilih menyerah pada keadaan.

Judith mengambil lagi cangkir cappuccinonya, menatap ke dalam cairan cokelat tersebut dengan pandangan kabur. Tangan putih Judith terkepal, membuat buku-buku jarinya terlihat kian jelas. Ada emosi yang tergambar di sana, ada sesal dan perih yang tidak mampu ia berikan pada siapapun termasuk teman-teman terdekatnya. Dia hanya bisa mempercayai dirinya sendiri untuk menyimpan semua luka, untuk menutupi setiap sakit dan lelah, untuk mengendalikan setiap kondisi ditengah-tengah ketidak-berdayaannya sebagai seorang perempuan. Judith butuh waktu begitu lama untuk sadar, bahwa kisah, mau seindah apapun prosesnya, jika takdirnya tidak dipertemukan dengan bahagia, maka apa boleh dikata? Judith akhirnya menyadari, sosok prianya sudah lama melupakannya. Rion terlampau menikmati langit biru Yogyakarta dan lupa bahwa Judith kala itu tertinggal di kemacetan Jakarta.

Just Like YesterdayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang