Bosan itu fase. Karena hubungan enggak cuma tentang bahagia sama-sama, bareng kemana-mana, terus ngerasa punya banyak kesamaan. Pasti juga ada nangisnya, ada jaraknya, dan banyak banget perbedaannya. Dan kalau salah satu aja mutusin jadi brengsek dan pergi, ya itu simpel aja, berarti hubungan itu enggak layak buat diperjuangin lagi. Udah.
• • •
"Terus? Lo jadi ke Los Angeles liburan semester nanti?" Rion menyandarkan tubuhnya ke dinding, mencari posisi ternyaman di atas tempat tidur kapas yang disediakan oleh tuan rumah. Dua temannya---Zora dan Fathur---sudah tertidur pulas saling membelakangi. Benar, mereka terpaksa harus tidur bertiga di atas tempat tidur yang sama. Walaupun Rion agak risih, tetapi menjadi sok dan pemilih tentulah bukan pribadi seorang relawan. Daripada mati kedinginan di lantai, lebih baik hangat bersama selimut di atas tempat tidur.
Baru lima menit lebih sedikit Rion bercakap dengan seorang di seberang telepon. Tetapi pembicaraannya sudah mulai berat saja. Helaan napas Rion keluar, entah akan terdengar sampai Bandung sana atau tidak. Ia berharap Ceisar, si pemuda Bandung itu paham bahwa Rion sedang ingin bercerita tanpa merasa diinterogasi.
"Nggak tau gue, Ceis." Rion menggeleng bersama kebingungannya. Dia memang memiliki rencana untuk pergi ke California apabila diterima pada seleksi perwakilan mahasiswa nanti. Akan ada banyak mahasiswa dari belahan dunia manapun yang menghadiri acara bergengsi tentang International Affairs di sana. Dan Indonesia pun termasuk menjadi tamu undangan. Rion berharap dia bisa lolos. Masih beberapa minggu lagi sampai seleksi itu diumumkan, dan semoga ada namanya.
"Lo ikutan seleksinya, kan? Gue yakinlah lo lolos, nggak mungkin mereka ngeraguin CV lo."
"Ya semogalah, gue juga pengen banget bisa ke Amerika."
"Bisalah pasti!" Ceisar memberi semangat dari jarak yang terbentang. "Mereka bakalan nyesel kalau enggak milih lo, Yon."
Rion mengangguk untuk dirinya sendiri. Berharap ucapan Ceisar dapat menjadi kenyataan. Setiap ada yang menyebutkan kata Amerika, Rion akan selalu mengingat Judith. Sayang sekali karena California tidak berada di Amerika Utara. Namun apabila nanti Rion memiliki kesempatan, dia ingin sekali kabur sebentar ke Kanada. Rion tahu ini akan menyalahi aturan, tetapi dia akan mencoba mengaturnya nanti selepas pengumuman seleksi.
"Terus, Ceis, lo sama Delvie nggak pernah kontakan lagi?" Kali ini giliran Rion yang mendengar helaan napas berat dari seberang telepon.
"Gak," jawab Ceisar pendek dan jelas. Dari nada suaranya, ada sesal yang Rion tangkap.
"Dia ngeblock atau lo yang---?"
"Dialah, Yon." Ceisar memotong dengan cepat. Dia tidak ingin Rion salah paham atas sikapnya terhadap Delvie. "Gue nggak paham sama sepupu lo, asli."
"Jangankan lo, Ceis, gue juga nggak paham sama dia. Semenjak kuliah dia berubah jadi jutek banget. Kalau gue chat dia, beneran yang urgent doang yang dibales." Rion berkata sembari memikirkan beberapa sikap Delvie yang menurutnya menyebalkan. Sekali waktu itu, Delvie pernah jujur secara terang-terangan padanya. Alasan mengapa Delvie enggan berkontak lagi, karena Rion telah menyakiti Judith dan ia merupakan sahabat karib dari seorang Ceisar Difa. "Lagian, lo berdua tuh sebenernya putus kenapa, sih? Kenapa Delvie segitu berubah jadi benci sama lo dan gue?"
"Kalau lo? Putus kenapa?"
"Please-lah, Ceis, gue duluan yang nanya."
Suasana hening sebentar, belum ada yang mau angkat bicara tentang alasan hancurnya hubungan mereka. Rasanya malu apabila menceritakan penyebab putusnya hubungan karena ternyata merekalah alasan dari kandasnya kapal yang berlayar. Rion yang menyia-nyiakan kehadiran seseorang dalam hidupnya. Sedang Ceisar, dia memiliki cerita versinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Like Yesterday
General FictionPART MASIH LENGKAP! "Mungkin, pada dasarnya kita hanya datang untuk kembali berkata hendak pergi. Kamu itu layaknya rasi bintangㅡtidak selamanya terang, tidak selamanya indah. Mungkin sekarang saatnya untuk berkata sudah." Judith Aluna, terkait Ori...